Pagi Pertama

1.5K 84 16
                                    


Pagi tadi hati ini terbelah oleh penolakan suamiku, benarkah dia suami? Atau hanya ilusi dari sebuah mimpi perempuan kampung yang ingin menjadi Cinderella. Bukan hanya tubuhku yang luruh, namun tunas cinta yang tak sengaja tumbuh itu ikut terhempas oleh sikap yang tak jelas kemana arah tujuan.

Mataku terpejam bathin merapal doa agar saat membuka mata, pria kekar itu yang menggenggam erat jemari. Berharap dia yang memohon aku menitipkan sebilah hati ini untuknya, namun indera penciuman ini masih belum pikun. Aroma yang menguap dari  tubuh yang berdiri di depanku adalah bukan dia, namun sesosok tubuh yang selalu memperlakukanku dengan lembut.

Teringat sebuah kalimat nasehat, menikahlah dengan orang yang mencintaimu jika ingin hidup bahagia. Apa dengan menikahi orang yang kita cintai tidak akan bahagia? Bukti nyata ada di depan mata. Selalu terluka dan kecewa saat bersamanya, mengharap bersamanya seperti bermain kembang api. Merasakan indah dengan debaran yang penuh warna namun jika tidak hati-hati maka akan melukai dan kini aku memang terluka.

Kemarin aku berjanji pada ayah ibu untuk mencoba mendekati, namun pagi ini kian terluka oleh sikap Bang Langit. Jiwaku tak cukup tangguh meranggas karena cinta, aku menyerah. Ya aku menyerah atas nama luka cinta dan jatuh dalam peluk cinta yang kini nyata di depan mata. Salah kah?

"Apa Cinta mau memberikan hati itu untukku?"   Napas hangat menyapu kening saat Koko mengulang kembali ucapannya, memberanikan diri mendongak dan menatap manik coklat itu.

Begitu bening dan tenang meskipun riak harapan jelas tergambar di sana, seakan berkata berikan aku cinta. Aku perawan yang haus kasih, yang terkapar di pelataran pernikahan. Haruskah membiarkan diri sepi dalam altar mimpi, sedangkan cahaya indahnya selalu berpendar saat aku dalam kegelapan. Untuk apa merindukan Punguk jika Merpati dalam pelukan, aku akan belajar mengeja namanya dalam doa-doa agar menggeser nama yang telah menggoreskan luka.

"Cinta." Suara Koko terdengar parau, mungkin terluka karena melihatku yang terdiam.

Namun, sanggupkah aku melihat pria ini terluka, sedangkan dia selalu ada dalam gelap hidup ini. Membalas remasan jemarinya, tangan itu sudah dingin oleh keringat kecemasan. Ada gelenyar perih tetapi aku tersenyum, mencoba menawar takdir yang tengah aku jalani.

"Kaa ... kamu mau Cinta?" Suara Koko semakin bergetar saat melihat senyumku, mata itu berbinar tetapi berembun tanda haru.

Betapa dalam harapan yang tersembunyi, dengan tenang menyimpan di sudut hatinya. Aku menggenggam erat liontin berbentuk bintang itu, serasa berbisik 'Ajari aku mencintaimu'. Koko mendekat ke meja nakas dekat ranjang dan menarik laci untuk mengambil sesuatu dari dalam, kotak merah digenggamnya.

Hanya menahan napas ketika pria berwajah oriental itu berjongkok di hadapan, meraih tangan kiri sedangkan tangan kanannya memegang sebuah cincin bermata biru berkilauan. Tangan gemetar jantung bertalu, apakah ini mimpi? Dilamar pria kaya di saat sudah menjadi istri orang. Istri yang terluka.

Air mata jatuh berderai, bahagia atau haru? Entahlah aku tidak dapat berpikir jernih, sangat konyol dandan bak putri raja tetapi di lamar pangeran yang masih mengenakan jubah mandi. Cincin putih bermata biru telah melingkar di jari manis tangan kiri, hangat kecupan kurasa di kedua punggung tangan. Koko sudah menyiapkan cincin ini? Begitu yakinkah kami dapat bersama, dan belum tahukah dia tentang pernikahan itu.

Greebb.

Tubuh ini direngkuhnya, debaran jantung begitu nyaring di telinga. Pipiku menempel di dada yang sedikit terbuka, rambut halus memenuhi dada meskipun tak selebat Bang Langit. Menghirup aroma rempah agar menenangkan syaraf yang terus menegang, mencoba mengeja namanya dalam ingatan.

"Megananda Prameswari," bisiknya lirih di telinga kananku, meremangkan bulu halus di bahu yang terbuka.

"Heemmm." Jawaban yang bisa kuucapkan.

Angkasa Yang TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang