Gak Peka

1.4K 92 2
                                    


.
"Saya terima nikah dan kawinnya Megananda Prameswari binti Redi Paramawardani dengan mas kawin tersebut tunai."

"Sah?"

"Sah."

Aku menepuk pipi, berharap yang terjadi adalah sebuah mimpi. Namun kenyataannya telapak tangan pria kekar yang diam-diam aku kagumi itu menyentuh puncak kepala membacakan doa dan mengecup kening ini. Ada pendar hangat menjalar di pipi, memejamkan mata agar semua tidak segera berlalu.

Perjalanan hidup siapa yang tahu, tadi pagi dia masih menghukumku membaca ayat seribu dinar sebelas kali hanya karena lupa memadamkan lampu lorong garasi. Detik ini aku sudah menjadi istri dari pria bernama Langit Mahardika Sapta Sanjaya itu. Entah apa yang akan aku hadapi saat menjadi istrinya kedepan, namun wajah dingin kembali melengos jika tatapan mata elangnya bersirobok denganku.

Menhapa dia tidak menolak saat ayah memaksanya menikahiku, semua hanya salah paham. Jujur aku tidak punya keberanian membantah ayah, namun paling tidak Bang Langit pasti bisa. Namun pria kekar itu hanya menurut apa saja yang diperintahkan ayah, tanpa sanggahan bahkan pertanyaan.

Menikah di pondok kecil daerah Surabaya barat milik sahabat ayah, hanya ada ayah ibu, adik, dan beberapa orang pondok. Mas kawin seperangkat alat sholat pun di belinya mendadak, tidak ada cincin kawin.

Aku mengenakan celana dan blus panjang, kerudung dari selendang yang dibelikan Koko dari Lombok. Bang Langit sendirian, tidak ada teman apalagi keluarga. Koko? Seharian ini belum menghubungiku seperti biasanya.

Ingin tertawa memikirkan kekonyolan ini, besok aku baru diwisuda namun hari ini telah menikah. Ingatan kembali pada percakapan dengan Koko Bintang saat mengantarku yudisium.

"Cinta, kalau kamu nikah nanti ingin mas kawin apa dari suamimu?"

"Rumah kos-kosan Ko," jawabku sedikit tegang karena memikirkan yudisium, Koko mengernyitkan dahi.

Koko menyentil keningku, "Kok gitu? Berat Me, takutnya menjadi beban." Matanya menatap jauh ke arah gerombolan mahasiswa di kampus.

"Ya gak lo Ko, nanti manfaat juga. Kalau sudah tua suami gak sanggup kasih nafkah, kan hasil sewa kos-kosan bisa dipakai." Koko hanya tertawa dan mengacak rambutku.

Akankah Koko terbahak jika tahu mas kawin yang aku terima hanya seperangkat alat sholat, tak sabar ingin mengadu padanya. Sikapnya yang hangat membuatku merasa memiliki kakak laki-laki, bahagiakah Koko melihat yang menjadi suamiku adalah sepupunya.

Lamunanku buyar ketika suara Bang Langit memanggil, "Mega ayo pulang! aku ada janji habis mahgrib." Suara tak ada manis-manisnya.

"Iya.. ya Bang. Aku pamit Ayah dulu ya!?"

"Oh ya soal kejadian ini jangan cerita ke Bintang dulu, aku saja yang bicara!" Suaranya sedikit dipelankan, entah apa maksudnya aku tidak boleh cerita ke Koko.

Berdua kembali ke rumah, tidak ada pembicaraan sepanjang perjalanan. Aku sibuk membalas chat Miranti, bercerita tentang kejadian hari ini. Besok dia janji akan datang ke gedung tempat wisuda, malam ini aku ingin tidur lebih awal.

.

.

"Cinta, mana fotonya?" Suara Koko dari dalam ponsel, pasti ingin tahu dandananku untuk wisuda.

"Masih belum Ko, ini masih disanggul."

"Nanti VC ya, pokok e harus Koko lihat dulu sebelum berangkat!"

"Ha iya iya."

Koko menyewa penata rias kerumah, khusus hari ini. Tetapi sayangnya dia tidak bisa hadir menemani wisuda, berulang kali memohon maaf karena harus pergi ke Paris mengunjungi adiknya. Sedikit kecewa sih, sebab Koko lah yang banyak membantuku sampai lulus ujian kemarin. Entah berapa uang yang sudah dikeluarkan untuk biayaku, rasanya tak adil jika dia tidak hadir.

Angkasa Yang TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang