Satu - Desa Ghirah

5.2K 135 31
                                    

Pagi merekah di langit wetan. Cahaya bagaskara mulai menghias cakrawala berawan tipis. Kelepak gerombolan bondol yang pelan namun pasti berputaran di sekitar persawahan. Gerombolan bondol itu ingin merasakan manisnya biji padi dari pangkuan tanah Jawadwipa yang dikenal memiliki tanah gembur dan makmur. Padi tumbuh subur menghampar luas dan ijo royo-royo meneduhkan. Bulir-bulir padi mulai berisi membuat semua petani harus waspada terhadap serangan hama. Di setiap sudut sawah dipasangi memedi manuk (orang-orangan sawah) dan alat sederhana untuk menakuti hewan lainnya.

Jika sudah begini, penduduk Ghirah akan lebih banyak menghabiskan waktu di persawahan untuk menjaga padi. Lain halnya dengan seorang pemuda bertubuh gempal yang tinggal di pinggiran desa. Saat semua pemuda sebayanya pergi ke sawah atau pasar desa, ia malah duduk di sudut pelataran rumah. Terdapat dua kurungan ayam dari bambu. Seekor ayam jago berada di dalam kurungan dengan bulu-bulu yang basah. Sang jago itu nampak menggigil kedinginan. Pemuda itu pasti baru saja memandikannya. Sementara seekor lagi tengah diberi makan oleh sang pemuda.

"Ayo dimakan, biar kamu cepat besar!" Sesekali ia bercengkerama dengan ayam peliharaannya.

Pemuda itu tidak mendengar langkah pelan yang mendekatinya. Seorang wanita berumur hampir lima puluh tahun, mengenakan jarik dan tampak sangat kesusahan berjalan. Bukan karena jarik yang sempit, melainkan rasa nyeri di kakinya yang tak kunjung sembuh.

"Sasmita..., kamu tidak ke sawah? Padi mulai matang, biasanya banyak bondol yang akan memakani biji padi!"

"Biarkan saja, Yung. Anggap saja kita memberi makan bondol-bondol itu. Kan mereka juga berhak mencicipi berkah ibu pertiwi."

"Enak saja! Kamu tidak pernah tahu bagaimana susahnya menanam padi di sawah! Butuh waktu, tenaga dan perjuangan untuk menghasilkan beras yang tiap hari masuk ke dalam perut besarmu itu! Disuruh mengusir bondol saja tidak mau! Sawah yang kita punya cuma dua petak, kalau semua padinya dimakan bondol kita dapat apa?!"

"Saya sudah suruh Wikata, anak tetangga kita untuk mengusir bondol di sawah kita, saya upahi dia dua kepeng, gimana pintar kan?"

"Lebih pintar lagi kalau kamu sendiri yang melakukannya, hitung-hitung untuk mengempeskan perutmu! Apa tidak malu punya badan sebesar ini!"

"Biar saja."

"Sudah pergi ke pasar sana! Beli sayuran dan jangan lupa panggil Nyai Wungur ke rumah. Aku ingin diurut biar kakiku sembuh," suruh ibu Sasmita. Meski malas, namun pemuda itu tidak mau membantah ibunya lagi.

Pasar desa memang sangat ramai. Bukan hanya penduduk sekitar yang ada di tempat itu melainkan juga penduduk dari desa dan daerah lain. Para pendatang itu pasti membawa dagangan yang banyak dan diperlukan jasa pengangkut untuk menurunkan barang dari atas gerobak. Disinilah para pemuda Ghirah saling berlomba untuk mendapatkan upah. Setelah itu para pemuda desa akan berkumpul di lapak penjual legen (minuman dari hasil sadapan pohon lontar). Mereka berkumpul setelah bekerja memeras keringat membantu para pedagang. Dan legen merupakan minuman untuk memulihkan tenaga mereka yang telah terkuras. Salah satu dari mereka melihat Sasmita berjalan pelan memasuki pasar.

"Hei Gentong! Mau kemana?" tanya seorang pemuda bernama Bambang.

"Belanja," sahut pemuda tambun sekenanya.

"Ohh, ayo duduk di sini dulu, tidak usah buru-buru," ajak seorang pemuda lagi. Dhana namanya.

Pemuda yang dipanggil Gentong itu mendekat dan duduk di antara para pemuda desa. Ketika baru duduk, tangannya langsung mencomot pisang goreng yang tersedia di piring tanah liat di atas meja dan menikmatinya.

"Bagaimana keadaan Nyai Ampal, Kang? Kudengar biyung Kakang jatuh di sawah kemarin," tanya pemuda yang duduk di sebelahnya. Namanya Suji.

"Sepertinya biyung keseleo, saya disuruh memanggil Nyai Wungur ke rumah."

Keris Weling Putih : Pedhut AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang