Lindu Sempana tengah duduk di tangga saung. Matanya menatap cakrawala yang menghitam kelam. Bintang-gemintang bertaburan. Menyingkap awan tipis berwarna kelabu. Bulan menggantung telah sepertiga. Cukup terang mengalahkan gelap. Di sekitaran kedaton, setiap sudut dipasangi obor-obor dalam jumlah banyak. Bagi para prajurit, obor sangat penting. Sebagai penerangan, pengusir dingin juga penghalang nyamuk.
Sudah biasa pemuda itu terjaga hingga larut malam. Apalagi pikirannya tengah kalut. Sulit baginya untuk memejamkan mata. Gering yang menyerang Adipati Seto Gumelar menjadi beban pikirannya. Ditambah lagi desas-desus mengenai pemberontakan Parang Mukti yang santer, meski tak dapat dipastikan kebenarannya.
Lindu Sempana bingung. Yang diinginkannya sebenarnya hanya satu. Ketentraman di Watugaluh. Tanpa rongrongan, tanpa kesedihan serta tanpa adanya kedengkian.
"Bulan yang indah untuk malam ini, Adhi." Terdengar suara mengagetkan Lindu Sempana.
Pemuda itu terperanjat dan menoleh ke belakang. Di bawah siraman sang rembulan, Lindu Sempana dapat melihat sosok pemuda yang umurnya sedikit diatasnya. "Kakang."
Pemuda yang tak lain adalah Danurdara mendekat. Ia pun duduk di samping Lindu Sempana. "Apa yang membuatmu tidak bisa tidur?" tanya Danurdara.
Lindu Sempana tak menjawab. Ia tersenyum tipis. Tak biasanya Danurdara menemuinya. Sejak dulu keduanya tak pernah akrab layaknya saudara. Sering mereka berselisih yang akhirnya dimenangkan oleh Danurdara. Lindu Sempana selalu mengalah demi kesenangan kakaknya.
"Aku mengerti kegundahan hatimu. Kau calon pewaris tahta, pasti pikiranmu telah penuh oleh bagaimana nasib Watugaluh ke depannya."
"Bukankah Kakang yang berhak atas tahta itu? Bagaimana pun juga, Kakang adalah putra pertama romo, kakak saya dan...."
"Tidak, Adhi. Aku sudah merelakan semuanya. Hal itu sudah jadi keputusan romo. Sejak dulu kau sering mengalah untukku, sekarang giliran aku yang mengalah untukmu. Aku akan menyokongmu dari belakang. Menjadi sosok penyangga yang selalu menguatkanmu," ucap Danurdara.
"Terima kasih, Kakang!"
Danurdara menepuk bahu adiknya. "Aku mengantuk, sebaiknya kau juga tidur, Adhi." Lindu Sempana mengangguk dan menatap kepergian kakaknya.
Lindu Sempana kembali menengadahkan kepalanya. Menatap langit malam membuatnya nyaman.
"Raden!" Terdengar suara halus memanggilnya. Lindu Sempana mengenal suara itu. Seorang gadis muda mengenakan pakaian warna ungu berjalan tanpa menimbulkan suara.
"Sukma, mengapa kau berkeliaran malam-malam begini? Bagaimana kalau romomu tahu?!"
"Sebab itu saya mengendap-endap agar tidak ketahuan romo. Saya ingin menyampaikan sesuatu yang penting," kata gadis itu.
"Sampaikanlah," pinta Lindu Sempana.
"Raden Danurdara mendatangkan tiga puluh prajurit untuk dilatih hanya oleh romo. Sikap mereka bukanlah seperti seorang prajurit sejati. Mereka tak lebih dari seorang bromocorah yang dipakaikan baju prajurit. Saya yakin mereka prajurit bayaran yang mempunyai tujuan tertentu. Tapi... saya belum bisa merabanya."
"Kakang Danurdara mendatangkan prajurit? Aneh, selama di keputran, dia tak pernah sekalipun mau ikut latihan tata perang. Prajurit kita juga sudah cukup banyak, buat apa harus menambah pasukan lagi?"
Tanpa disadari, percakapan mereka didengar oleh seorang pemuda di balik dinding. Pemuda mengenakan pakaian warna merah bata. Sosok yang tadi menemui Lindu Sempana dan beranjak untuk tidur, namun kedatangan Sukma Astagini membuatnya harus sedikit memincingkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keris Weling Putih : Pedhut Asmara
Ficción históricaKabut tenung menyelimuti langit Kediri. Penyihir dari Ghirah menjadi biang dari pagebluk yang menimpa rakyat Panjalu. Prabu Airlangga dan Patih Narotama meminta bantuan Mpu Bharada untuk menghentikan kejahatan Calon Arang. Calon Arang juga membantu...