Sebelas - Bayangan Duka

1.2K 45 7
                                    

Di tengah lebatnya hutan, dua sosok tubuh mendarat mulus di rerumputan. Tempat itu sudah cukup jauh dari kotaraja Watugaluh. Tidak mungkin para prajurit dapat mengikuti apalagi menemukan jejak mereka.

Pranasuta menurunkan Sukma Astagini dari dukungannya. Perlahan tubuh gadis itu disandarkan ke pohon. Matanya terpejam erat dan tarikan napasnya sangat cepat. Damarwangi juga melakukan hal yang sama terhadap Patih Sanggabayu. Wajah sang patih meringis kesakitan akibat dua anak panah yang menancap di dadanya.

"Bertahan, Gusti," pinta Damarwangi. Ia lalu memberi totokan di dekat dada yang terkena anak panah. Damarwangi mencoba mencabut anak panah itu. Namun sang patih mencegah.

"Tidak perlu, Damarwangi. Panah ini beracun...." Damarwangi dan Pranasuta terkejut. "Tolong selamatkan... putriku, dia harus tetap... hidup...," pinta Patih Sanggabayu.

"Prana!" ucap Damarwangi. Pranasuta mengangguk. Ditotoknya jalan darah Sukma Astagini. Dan pemuda itu segera mencari tanaman obat yang ada di hutan.

"Damarwangi... setelah kepergianku, putriku tidak memiliki siapa-siapa. Dia sebatang kara... jaga dan kasihi dia."

"Gusti..., Gusti... saya yakin Gusti mampu bertahan demi Sukma Astagini. Saya tidak bisa membayangkan duka yang akan ditanggungnya...."

"Aku juga ingin menghabiskan masa tuaku bersama putriku, tapi aku sudah dapat merasakan ajalku akan segera tiba... aku tidak bisa melawan kehendak Hyang Widhi... katakan bahwa aku sangat menyayangi putriku. Dan maaf karena tidak bisa melindungi dan menjaganya...." Tubuh Patih Sanggabayu mengejang. Sisa napas terakhirnya digunakan sang patih untuk menyampaikan isi hati dan permohonannya.

Patih Sanggabayu yang selama ini disegani kini terkulai dalam pangkuan Damarwangi. Kelopak matanya takkan bisa terbuka kembali. Napasnya terhenti bersamaan dengan lepasnya sukma dari jasad. Menuju alam keabadian. Damarwangi memeluk dan menangisi kepergian sang patih.

Tak lama Pranasuta kembali dari hutan dengan membawa dedaunan yang bisa berkhasiat menghilangkan racun dari dalam tubuh. Melihat Damarwangi yang tengah menangis, Pranasuta dapat menebak apa yang terjadi. Ia mendekat dan bersimpuh di dekat tubuh kaku sang patih. Damarwangi menyeka air matanya.

"Gusti patih telah tewas," bisik Damarwangi pelan. Pranasuta menunduk. Entah kenapa hatinya juga ikut teriris menyaksikan kejadian itu. "Cepat, Prana! Kau harus bisa menyelamatkan Sukma!"

Dengan sigap Pranasuta meracik ramuan penawar racun. Juga secara hati-hati mencabut anak panah yang menancap di perut Sukma Astagini. Sangat penting bagi seorang pendekar untuk mempelajari ilmu pengobatan. Setidaknya dengan memanfaatkan tanaman hutan yang berkhasiat menyembuhkan. Itu pun tidak mudah, diperlukan ketelitian. Tak jarang banyak tanaman yang sekilas bentuknya serupa namun berbeda kegunaan. Cara membedakannya adalah dilihat dengan saksama dan membaui aroma tumbuhan tersebut.

Pranasuta lalu meminumkan ramuan racikannya kepada Sukma Astagini. Sementara Damarwangi mencari kayu bakar untuk perabuan Patih Sanggabayu. Pranasuta juga ikut membantu Damarwangi. Kayu bakar mereka susun rapi dan jasad Patih Sanggabayu diletakkan di antara tumpukan kayu.

Kelopak mata Sukma Astagini mengerut, perlahan terbuka. Perutnya terasa nyeri dan kaku. Luka akibat hunjaman anak panah telah dibaluri dengan dedaunan yang dilumatkan. Darah yang keluar pun sudah berhenti mengalir. Pandangannya masih meremang. Namun ia dapat melihat tumpukan kayu pancaka untuk memperabukan jasad.

Siapa yang tewas? Kenapa Kakang Damarwangi dan pemuda penolongku itu terlihat begitu sedih?

Sukma Astagini mencoba berdiri dan mendekat dengan langkah gemetaran. Tenaganya habis. Sukma Astagini tetap memaksakan dirinya.  Akhirnya terlihatlah sosok yang terbaring di atas pancaka.

Keris Weling Putih : Pedhut AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang