Mengendus perlahan di mulut tabung bambu, Lindu Sempana tak membaui apapun. Kemudian kain biru itu disumbatkan kembali. Diletakkannya benda itu di samping tempat tidur. Sementara ia sendiri memilih membersihkan diri untuk menyegarkan badan serta pikiran.
Dengan sedikit keraguan, Lindu Sempana mendekati kamar sang adipati. Jarak antara pemuda itu dengan pintu kamar masih terlalu jauh. Namun, langkahnya terhenti seketika. Bisikan hati menuntunnya untuk menjauh dari sana. Lindu Sempana memilih menjauh dulu untuk menata hatinya. Ia melangkah mundur hingga tiba di ujung lorong. Pangeran muda membalik badan dan tanpa sengaja menabrak seseorang yang datang dari simpangan kiri.
Lindu Sempana dan orang yang ditabraknya terdorong mundur. Tabung bambu yang dipegangnya terhempas dan menggelinding di lantai. Orang yang ditabrak pemuda itu menunduk dan mengambil benda bersumbat kain biru. Sesaat ia tampak menimang dan memperhatikan benda yang dipegangnya.
"Benda ini...," katanya sambil melirik pemuda itu, "milik Raden?"
Lindu Sempana menatapnya. "Benar, Sukma."
Sukma Astagini menyerahkan tabung bambu pada Lindu Sempana.
"Kebetulan kita bertemu. Ada yang ingin saya bicarakan." Lindu Sempana mengajak gadis itu ke pinggir taman kadipatenan. Duduk saling berhadapan dan keduanya terlibat pembicaraan singkat.
"Raden percaya pada Raden Danurdara?" tanya Sukma Astagini setelah Lindu Sempana menceritakan bagaimana asal usul penawar itu bisa berada di tangannya.
"Mungkin saya harus percaya. Lagipula ini menyangkut kesembuhan romo."
Sejenak keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Tapi entahlah...," kata Lindu Sempana tiba-tiba. "Saya ingin mendengar pendapatmu dulu, Sukma."
Kedua alis hitam milik gadis berpakaian merah muda itu terangkat naik. "Kenapa... harus saya?"
"Sudah lama saya mempercayaimu, terkadang ucapanmu mendekati benar, atau lebih tepatnya seperti sebuah tengara," ujar Lindu Sempana tanpa disangka.
"Ah, tidak Raden, saya bukan seorang peramal," desah Sukma Astagini. Seolah menganggap apa yang dikatakan oleh sang pangeran adalah sebuah candaan. Ia tak ingin memberitahu perasaan aneh yang menjalari dadanya saat ini. Sebuah kekhawatiran bercampur rasa ketakutan.
"Saya tidak tahu, Raden. Menurut Raden sendiri bagaimana?"
"Menurut saya, seorang anak... tidak akan mungkin mencelakai romonya sendiri, walaupun hatinya penuh oleh kebencian."
"Jadi, kita harus mengalah dari keyakinan kita selama ini?"
Lindu Sempana diam lalu mengangguk pelan. Sukma Astagini menurut. Keduanya berdampingan menuju kamar sang adipati. Pintu didorong perlahan. Senopati Reksamantra yang berada di dalam menyambut mereka.
"Kebetulan sekali Raden datang," ucapnya.
"Memangnya kenapa, Paman Senopati?"
"Saya punya sedikit keperluan dengan para prajurit."
"Silahkan, Paman," ucap Lindu Sempana. Sang senopati memberi hormat dan meninggalkan keduanya di dalam bilik. Biasanya Dewi Padmandari yang selalu setia menemani suaminya. Namun belakangan ini kesehatannya semakin menurun. Memaksa Padmandari untuk tidak beranjak dari biliknya.
Kedua muda mudi itu saling bertatapan. Lalu pandangan mereka tertuju pada tubuh yang tergolek di atas pembaringan. Deru napas mereka hampir terdengar karena begitu senyapnya kamar ini. Meski gemetaran, Lindu Sempana menarik rahang bawah ayahnya dengan lembut hingga mulutnya sedikit terbuka. Ia lalu membuka sumbat tabung dan di arahkan ke bibir ayahnya. Sedikit demi sedikit cairan di dalam tabung bambu terteguk sampai habis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keris Weling Putih : Pedhut Asmara
Historical FictionKabut tenung menyelimuti langit Kediri. Penyihir dari Ghirah menjadi biang dari pagebluk yang menimpa rakyat Panjalu. Prabu Airlangga dan Patih Narotama meminta bantuan Mpu Bharada untuk menghentikan kejahatan Calon Arang. Calon Arang juga membantu...