Tujuh Belas - Tahta Hampa

317 22 6
                                    

Keriaan terlihat jelas di pendopo samping kedaton Watugaluh. Sudah cukup lama Danurdara mengangkat dirinya sendiri sebagai adipati. Impiannya terwujud. Ia duduk di atas tahta, lebih tinggi di antara mereka semua. Namanya begitu dielu-elukan. Mereka harus menunduk di hadapannya. Dan Danurdara memiliki segalanya di depan mata.

Gelas perak berisi arak belum juga dinikmati rasanya oleh Danurdara. Memandang beberapa tumenggung yang tengah menari bersama penari cantik dan molek mengikuti gending dengan ritme cukup cepat yang ditabuh nayaga penuh tenaga. Pesta akan berlangsung sampai semalam suntuk.

Tumenggung Cakrawangsa menenggak araknya pelan. Kemudian menatap sang adipati muda. "Kenapa Raden tidak bersemangat malam ini? Badan Raden sedang meriang?" Pemuda itu sudah Danurdara anggap sebagai kakaknya. Begitu perhatian dan penyayang juga selalu hadir di hadapannya ketika merasa di titik terbawah.

"Tidak, Kakang. Cuma... tidak ada yang mampu menghadirkan arak manis atupun gadis-gadis yang lebih molek dari mereka. Aku jenuh!" Gelas diletakkan kembali. Suara gending bertalu dan makin ramai. Namun Danurdara merasakan sepi yang begitu menyayat. Tak lama ia bangkit dari duduknya. Menuruni beberapa undakan tangga. Bergegas para penari menghampiri dan menggoda dengan kerlingan juga gerak tubuh mereka. Memutari tubuh tegap Danurdara, mempertontonkan dada berisi dan jari-jari mereka tak henti menyentuh dada bidang sang adipati. Berharap Danurdara tertarik dan membawa salah satu dari mereka ke bilik peraduan bernuansa surga.

Sayang, Danurdara tengah malas. Tangannya terjulur untuk meraih roncean melati pada gelung rambut seorang penari. Setelah dapat, Danurdara mengambil langkah panjang untuk menjauhi pendopo.

Roncean melati mengingatkannya pada kembang Kedung Asem yang benar-benar mencuri hatinya. Gadis cantik yang tangguh dengan ilmu sihir andalan, seperti ibunya namun berbeda jalan. Sorot mata yang berusaha dibuat tajam dan selalu menyembunyikan senyum di bibirnya yang merah. Hal itu malah membuat Danurdara tertarik. Sebab Ratna Manggali berbeda.

Sebelum mereka bertolak dari Kedung Asem untuk kembali ke Watugaluh, Ratna Manggali memberikan roncean melati sebagai salam perpisahan. Katanya, Danurdara harus hidup seperti melati.

"Raden tahu, selain warnanya, bunga melati juga selalu memancarkan aroma wangi yang tajam memikat yang tak pernah pudar sedari kuncup hingga mekar bahkan yang telah layu. Jadilah seperti itu, Raden. Sikap yang baik dan tidak berubah-ubah. Meskipun jalan hidup Raden bertolak belakang, namun janganlah Raden mengabaikan watak sejati seorang ksatria."

Begitulah gadis cantik itu bertutur. Dan hal itu membuat Danurdara lupa tanah kelahirannya di Watugaluh.

Kemudian pada penobatannya, ia sengaja mengundang Calon Arang. Juga Ratna Manggali. Danurdara berencana akan melamar gadis itu di depan sang ibu. Namun, gadis idamannya menolak untuk datang. Danurdara mengerti, Ratna Manggali takkan menerimanya. Dan rasa kecewa itu memunculkan ceruk hampa yang menyebabkan Danurdara kehilangan hasrat, baik dalam memimpin, menikmati jerih payahnya bahkan untuk hidupnya sendiri.

Tumenggung Cakrawangsa harap cemas juga soal hal itu. Danurdara akan melemah dan memungkinkan Lindu Sempana yang masih belum diketahui keberadaannya, bisa jadi memiliki peluang untuk menyerang balas. Segera disusulnya Danurdara. Mungkin ia bisa meringankan beban hati sang adipati muda.

"Raden," sapa sang tumenggung pada pemuda dengan rahang tegas itu. Keduanya berada di sebuah saung. "Raden masih memikirkan Ratna Manggali?"

Tak ada sahutan. Danurdara masih menghidu aroma dari kelopak-kelopak melati putih. "Saya mampu mendatangkan seluruh gadis-gadis di berbagai penjuru Watugaluh kalau Raden berkenan. Tapi saya mohon, jangan terlalu menyiksa diri dengan mengharapkan hal yang tidak bisa Raden gapai."

"Dia... satu-satunya gadis yang membuatku mati akal."

"Ratna Manggali sendiri bahkan berbeda haluan dengan biyungnya, apalagi dengan kita. Saya tidak memaksa. Mungkin kita tidak perlu menyelenggarakan keriaan lagi di kedaton. Kita lanjutkan kembali pencarian terhadap Lindu Sempana dan yang lainnya. Dan hukum pancung yang tertunda dapat dilaksanakan!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 19, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Keris Weling Putih : Pedhut AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang