Para cantrik yang berjumlah lebih dari empat puluh orang berkumpul di sebuah lapangan besar. Mereka menggunakan pakaian cokelat dengan ikat kepala bercorak batik warna merah. Belakangan ini semakin banyak pemuda yang ingin menimba ilmu di Argasoka. Mpu Wanayasa menyuruh mereka mendirikan bangunan asrama baru dengan sedikit menambah wilayah padepokan.
Damarwangi memperagakan beberapa jurus memainkan tombak. Berdiri pula Saka Galih dan Pranasuta di antara para cantrik. Tak jauh dari arena latihan, Jatmo turut memerhatikan keluwesan Damarwangi dan mengikutinya menggunakan tongkat sapu lidi. Jatmo yang tidak bisa kanuragan itu pun memutar tongkat sapu. Awalnya berhasil tapi ujung tongkat malah mengenai kepalanya.
"Mau saya ajari?" tawar Sukma Astagini yang berdiri di belakangnya.
Jatmo berbalik dan tersenyum lebar. "Ajari masak?"
Sukma Astagini menggeleng. "Kanuragan."
"Yang bener?"
Gadis manis itu mengangguk. "Tapi sekarang, kita selesaikan dulu pekerjaanmu!"
Sesekali Sukma Astagini melirik pada gladi kanuragan itu. Saka Galih dan Damarwangi tengah bertarung dengan jurus-jurus asli padepokan. Salah satunya yakni jurus Banyu Soka. Gerakan mereka cenderung luwes dan gesit. Dalam gerakan menyerang atau memberi pukulan saja yang terlihat tegas dan mantap.
Keduanya sama-sama menggunakan tombak. Dalam beberapa jurus, tombak di tangan putri Mpu Wanayasa itu dapat ditepis oleh Damarwangi. Tombak Saka Galih jatuh dan menancap dalam di tanah rumput.
"Cukup!" perintah Saka Galih. "Dalam pertarungan, jika kita kehilangan senjata jangan merasa ciut! Justru kita bisa memanfaatkannya!" Suaranya menggelegar agar setiap cantrik mampu mendengar. "Lawan yang memiliki senjata, cenderung menganggap remeh lawannya dan itulah kelemahannya! Ayo Damar, serang lagi!"
Dengan gesit gadis itu menghindari ujung tombak dan turut membalas serangan. Dalam satu kesempatan, Saka Galih memukul tombak ke samping dan tubuhnya langsung maju. Memberikan pukulan di dada dan perut Damarwangi. Hanya pukulan biasa. Saka Galih turut menendang tombak yang dipegang oleh pemuda itu. Tubuh Damarwangi terdorong beberapa langkah sementara tombaknya berputaran di udara.
Saat tombak hendak jatuh ke tanah, Saka Galih langsung memberikan pukulan tepat di pangkal tombak dan meluncur ke arah pemuda berpakaian hijau itu. Melihat itu, Damarwangi memutar tubuh hingga tombak luput mengenai tubuhnya. Tombak meluncur menjadikan punggung Jatmo sebagai sasaran. Pria itu tak menyadari, karena ia sendiri tengah bersenandung aneh.
"Jatmo!" pekik Damarwangi. Seketika Jatmo berbalik dengan wajah ternganga. Yang bisa dilakukannya hanya menutup wajah.
Sukma Astagini langsung melemparkan sapu di tangannya untuk memecah arah tombak. Ujung sapu mendorong tombak ke samping dan menyelamatkan Jatmo.
Pria gendut itu masih mengatakan sumpah serapah dengan wajah tertutup. "Sudah Jatmo, kamu selamat!" ucap Sukma Astagini. Jatmo meraba tubuhnya, masih utuh dan ia masih hidup.
"Maaf," kata Damarwangi.
"Tidak apa. Kami juga minta maaf, kami sudah mengganggu, ayo, Jatmo!" Sukma dan Jatmo langsung beranjak pergi agar tidak mengganggu latihan mereka.
Sesuai janji, Sukma Astagini akan mengajari Jatmo kanuragan. Mereka mencari tempat sepi di belakang padepokan.
"Jatmo, kamu sudah tahu atau mengenal dasar-dasar kanuragan?"
"Yang saya pelajari dari Tuan Prana, katanya dasar kanuragan itu adalah pukul, tendang, tangkis dan hindar!" jawab Jatmo bersemangat.
"Benar. Dan kamu sudah bisa menguasainya?" Jatmo menggangguk mantap. "Lalu... apalagi yang ingin kamu pelajari?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Keris Weling Putih : Pedhut Asmara
Fiksi SejarahKabut tenung menyelimuti langit Kediri. Penyihir dari Ghirah menjadi biang dari pagebluk yang menimpa rakyat Panjalu. Prabu Airlangga dan Patih Narotama meminta bantuan Mpu Bharada untuk menghentikan kejahatan Calon Arang. Calon Arang juga membantu...