Desau angin melewati ranting-ranting pohon asem menimbulkan suara gemerisik. Ranting perkasa saling tumpang tindih di atas Kedung Asem hingga matahari yang hampir naik tak terlalu nampak dari dasarnya. Hal ini membuat dua penunggang kuda yang sejak tadi berada di dalam Kedung Asem diselimuti kebingungan. Danurdara dan Tumenggung Cakrawangsa memulai perjalanan sebelum matahari benar-benar timbul. Namun hingga kini mereka tak kunjung tiba ke tempat tujuannya. Rasanya mereka sudah berulang kali tiba di tempat yang sama. Memang Kedung Asem ditumbuhi oleh pohon asem yang tinggi hingga membuat keseluruhan hutan menjadi serupa. Bagi yang tidak tahu seluk beluk hutan ini pasti akan tersesat. Begitupun dengan kedua pemuda Watugaluh ini.
Danurdara yang memimpin di depan menarik kekang kuda dan diikuti oleh Tumenggung Cakrawangsa.
"Rasanya sudah berkali-kali kita melewati tempat ini! Kita pasti tersesat!" kata Danurdara, "mungkin pria tua itu sengaja ingin menyesatkan kita. Dengan bodohnya kita mempercayai dan akhirnya terperangkap dalam jebakan yang dia buat!"
"Tidak, Raden. Saya yakin Ki Harja tidak bohong." Pemuda itu turun dari kudanya. "Ada orang lain yang tidak menyukai kedatangan kita."
"Saya merasakan ada hal gaib yang melingkupi kita, hutan ini dipagari ilusi sehingga kita hanya berputar di satu tempat. Saya akan coba menjebol pertahanan ini, Raden," tambah Tumenggung Cakrawangsa.
Danurdara mengangguk. Kemampuan Tumenggung Cakrawangsa lebih tinggi beberapa tingkat di atasnya. Sang tumenggung pun telah banyak mengenal berbagai macam ilmu hitam juga hal-hal gaib. Danurdara juga membenci ilmu hitam. Menurutnya ilmu tersebut adalah ilmu pengecut yang tidak terlihat oleh mata. Serta yang di serang adalah jiwa.
Tumenggung Cakrawangsa segera duduk bersila dan tangan kanannya menghunus keris berkeluk tujuh dari warangka. Dengan mata terpejam, keris itu ditaruh di depan wajah sementara bibir Tumenggung Cakrawangsa bergerak-gerak seperti merapalkan sesuatu. Sepasang mata di balik pohon asem menajamkan pandangannya. Mengamati apa yang dilakukan oleh sang tumenggung. Cahaya kuning tampak berpendar di sekitaran keris. Semakin lama semakin pekat. Kelopak mata Tumenggung Cakrawangsa kembali terbuka dan keris bersinar itu ditancapkan ke tanah. Ledakan besar terjadi.
"Hugh!" Pemilik mata itu mengeluh dan memegangi dadanya yang terasa sesak. Sungguh ia tak menyangka jika pagar gaib yang dibuatnya dapat ditembus. Gadis berpakaian merah itu sengaja tak membuat mereka tersesat melainkan hanya berputar-putar di tempat yang sama. Ternyata ia lengah. Tumenggung Cakrawangsa mampu menghilangkan ilusi yang menyelimuti mereka. Setelah rasa sesak didadanya hilang, gadis bercaping segera menjauh. Namun pergerakannya terlihat oleh sudut mata Danurdara.
"Tunggu!" Secepat kilat pemuda itu turun dari kuda dan mengejar sosok bayangan merah bercaping.
Alam Kedung Asem masih sangat liar. Gerumbul perdu yang lebat seakan tak mampu menjerat langkah bayangan merah itu. Malahan Danurdara yang begitu kesulitan menembus lebatnya semak. Berkali-kali kakinya terjerat rumput lalu terperosok dalam celah antara pohon-pohon yang tumbang. Bayangan itu membawa Danurdara semakin masuk ke dalam hutan. Sinar matahari sudah tak terlihat. Kabut menyelimuti. Sebab kabut itulah Danurdara kehilangan jejak. Pangeran Watugaluh itu menggapai salah satu ranting pohon dan mengatur napasnya. Cepat-cepat ia menarik tangannya saat tahu bahwa ranting itu telah dililit tubuh truno bamban, jenis ular hijau mematikan. Saat Danurdara melihat ke bawah, seekor sanca kembang hendak membelit kakinya. Beruntung pemuda itu langsung melompat menjauh. Tempat itu ternyata dipenuhi oleh banyak ular.
"Bedebah! Jadi dia ingin membunuhku?!"
Sekali lagi Danurdara melihat kelebatan bayangan merah. Ia langsung mengejar sosok bercaping. Kalau benar sosok itu yang menyebabkan mereka tersesat, Danurdara tak kan mengampuninya. Dan gadis bercaping itu juga hampir membunuhnya. Kesabarannya mengarungi Kedung Asem telah sirna berganti menjadi kemarahan mencapai ubun-ubun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keris Weling Putih : Pedhut Asmara
Historical FictionKabut tenung menyelimuti langit Kediri. Penyihir dari Ghirah menjadi biang dari pagebluk yang menimpa rakyat Panjalu. Prabu Airlangga dan Patih Narotama meminta bantuan Mpu Bharada untuk menghentikan kejahatan Calon Arang. Calon Arang juga membantu...