Empat - Teluh dari Ghirah

1.7K 68 23
                                    

Gadis ayu itu turun dari serambi menuju halaman belakang. Mendekati rimbunan melati yang mekar, meski tak sesegar tadi pagi. Di sampingnya ada pula cempaka putih yang harumnya masih menguar. Danurdara masih memandanginya dari jauh. Ia tahu, tak mudah untuk menundukkan hati gadis itu. Dia bukan gadis biasa yang haus akan cinta kasih melainkan sosok gadis tangguh. Kalau saja Calon Arang tak mengekangnya di sini, barang kali dia sudah membuat gempar rimba persilatan. Perlahan Danurdara mendekatinya.

"Saya tidak menyangka, di Kedung Asem ini saya menemukan kembang yang lebih cantik dan menawan dibanding melati ini," ucap Danurdara sambil memetik sekuntum melati.

"Saya sudah tahu rencana busuk yang tengah Raden jalankan," kata Ratna Manggali tanpa tedeng aling-aling.

"Kenapa? Apakah Nini tidak terima?"

"Pasti, sebab Raden telah melibatkan biyung dalam pemberontakan ini. Saya sangat menyayangi biyung saya. Sebab itu saya tidak ingin biyung semakin berlarut-larut tenggelam dalam kejahatannya."

Mendengar itu, Danurdara merasa tersinggung, ia pun menarik napas panjang. "Nini tidak mengerti. Nini hanya tahu saya mendatangi Calon Arang untuk minta bantuannya tanpa tahu sebab kenapa saya melakukan ini." Danurdara hanya memandang lurus ke depan lalu menatap gadis di sampingnya. Ratna Manggali pun secara tiba-tiba memalingkan wajah dan menatap pangeran itu. Pandangan mereka bertemu. Danurdara mengerti maksud tatapan Ratna Manggali. Gadis itu ingin tahu apa sebab mereka datang kemari.

"Saya dan Lindu Sempana memang bersaudara. Tapi Lindu Sempana selalu mendapat perhatian lebih dari romo. Dia selalu panen pujian sementara saya selalu mendapat cela dan benci!"

"Tidak ada seorang romo yang mampu membenci anaknya, meski telah banyak melakukan kesalahan. Raden salah sangka, seharusnya cela dan benci itu menjadi cambuk bagi Raden agar bisa menjadi lebih baik lagi."

Danurdara menggeleng. "Sayangnya saya tidak bisa terima. Saya membuat diri saya semakin buruk di mata romo, agar dia mengabaikan saya dan seluruh perhatiannya tercurah pada adik saya. Tapi suatu ketika, saya sadar jika terus-terusan seperti itu maka tahta Watugaluh akan semakin jauh dari genggaman!" Ratna Manggali terus menyimak penuturan Danurdara.

"Secara diam-diam saya mengejar ketertinggalan kanuragan, kedigjayaan, juga ketatanegaraan pada guru Kakang Cakrawangsa. Romo adipati akhirnya memuji saya, tapi tahta Watugaluh masih diserahkan pada Lindu Sempana! Bagaimana perasaan Nini jika hal itu melanda diri Nini?"

"Saya tahu sebabnya. Ada satu hal yang Raden lupakan. Sikap Raden yang grusa-grusu, pendendam dan tidak bisa mengendalikan diri juga menjadi batu sandungan tinggi untuk dapat menduduki tahta."

"Saya tidak peduli! Saya hanya inginkan tahta itu! Terserah bagaimana pun mendapatkannya, termasuk dengan cara kotor menggunakan ilmu hitam seperti ini!"

"Tahta berdarah akan membuat panas orang yang mendudukinya."

"Saya telah mempertimbangkan semuanya, saya akan tanggung akibatnya suatu saat nanti," ucap Danurdara mantap. Ratna Manggali mengangguk, kagum dengan keteguhan hati Danurdara. Hanya saja pangeran itu salah memposisikannya.

Ratna Manggali menatap langit. Hitam. Bahkan bulan sepotong tadi telah hilang ditelan awan. Udara dingin semakin mendekap tubuh. Namun hawanya terasa lain. Tubuh Ratna Manggali merasakan sesuatu.  Gadis itu segera masuk ke dalam. Sepertinya hujan akan turun.

Danurdara masih tak bisa tidur. Ia memutuskan untuk berkeliling. Sepi sekali. Danurdara tak menemukan siapa pun. Tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh tak jauh dari tempatnya berdiri. Salah satu dari para perempuan yang menjadi pelayan di sini. Pemuda itu mengikutinya. Tapi sosok perempuan tadi langsung lenyap di antara lorong menuju sebuah ruangan.

Keris Weling Putih : Pedhut AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang