Sepuluh - Hukum Pancung

1.1K 44 4
                                    

Awan tebal tampak menyelimuti langit. Mengurung bagaskara di dalamnya. Burung-burung berhenti mengepakkan sayap. Mereka mendekam di setiap cabang ranting. Angin bertiup pelan seolah tak ingin mengusik kesunyian di padepokan Argasoka pagi itu.

Seluruh penghuni padepokan mengenakan pakaian serba putih. Berdiri dengan khidmat mengelilingi tumpukan kayu yang perlahan berubah menjadi abu. Malam tadi, Resi Danuraga telah mencapai kesempurnaan dalam hidupnya. Kini sang resi yang terkenal bijak itu akan memulai pengembaraan menuju Suralaya.

Damarwangi terlihat berada di barisan depan dan berdiri ngapurancang. Di sebelah kanannya, seorang pria tua bersahaja menatap kobaran api yang menjilat-jilat. Ia juga berdiri ngapurancang. Berusaha menabahkan hatinya. Sementara itu, seorang gadis terlihat tak kuasa menahan air mata. Gadis berambut hitam panjang itu menyandarkan kepalanya di bahu pria tua yang dikenal sebagai Mpu Wanayasa. Gadis itu pastilah putrinya yang bernama Saka Galih. Tangan Mpu Wanayasa kemudian membelai kepala putrinya tanpa berucap apa pun.

Berjarak dua orang di sebelah mereka, berdiri pula seorang pemuda. Seorang pendekar kelana yang sudah tiga purnama tinggal di Argasoka. Namanya Pranasuta. Berkulit sawo matang dengan sepasang mata jeli dan tajam, hanya agak tersamar karena titik air mata. Hidung mancung dengan bibir tipis. Rambut sebahunya tergerai rapi. Kedua telapak tangan pemuda itu tertangkup di depan dada, seperti sebuah penghormatan terakhir bagi tubuh yang diperabukan.

Di belakang pemuda itu, terdapat seorang pria bertubuh pendek. Hidung lebar dengan kulit sawo gelap. Sejak tadi pria itu terus memerhatikan Pranasuta. Ia tampak tak ikut bersedih.

"Sabar ya, Tuan," bisiknya di dekat telinga pemuda di depannya.

"Hus! Jangan berisik, Jatmo!" bentak Pranasuta pelan sambil menyikutnya. Jatmo hanya menurut.

Para cantrik padepokan turut berdiam diri hingga api padam karena yang dilalapnya telah sepenuhnya menjadi abu.

Hingga petang, suasana padepokan itu masih berduka. Terlihat jika Saka Galih telah mengganti pakaiannya dengan pakaian pendekar berwarna oranye. Ia menuntun kuda dengan sebuah buntalan berisi pakaian diikatkan di dekat pelana. Di punggungnya tersampir sebilah pedang bergagang ukiran bunga soka, pemberian dari ayahnya.

"Galih...! Galih!" Teriakan itu berasal dari mulut seorang pemuda yang berlari menghampirinya. Pranasuta. Semua orang di situ mengenalnya sebagai kekasih Saka Galih. Gadis itu menghentikan langkah dan menoleh ke belakang.

"Kamu mau kemana?" tanyanya.

"Saya ingin pergi Kakang. Saya ingin melupakan kenangan tentang Eyang Danuraga."

"Kalau begitu, biarkan saya menemanimu," pinta Pranasuta.

Saka Galih diam sesaat sambil menunjukkan tatapan tajam pada lawan bicaranya. "Tidak usah! Nanti Kakang Suta malah melirik gadis lain!" Saka Galih berbicara tepat di depan wajah pemuda itu. Melihat wajah Pranasuta yang terkejut, kegarangan Saka Galih menghilang. Ia berbalik untuk membenahi pelana kuda.

"Memangnya sejak kapan saya jadi mata keranjang? Yang setiap hari saya lihat kan kamu...."

Saka Galih gusar mendengarnya. Dengan kasar ia memutar tubuh menghadap pemuda itu. "Oh ya? Lalu apa yang Kakang lakukan kemarin? Menggoda gadis penjual bunga dengan kerlingan, dasar genit!"

"Galih, bukan saya... gadis itu yang memang terlalu genit."

"Sama saja! Pokoknya, Kakang tidak boleh kemana-mana selama saya pergi! Awas saja kalau Kakang meninggalkan padepokan!" Gadis itu memang selalu berbicara dengan keras dan kasar.

"Kalau saya pergi?" pancing Pranasuta. Baru dua langkah, Saka Galih kembali berhenti dan membalik badannya. Langsung ia mendorong tubuh sang pemuda dengan kesal juga memukul-mukul tubuh pemuda itu. Sebisa mungkin Pranasuta menghindari amukan Saka Galih. Tetap saja ia kalah.

Keris Weling Putih : Pedhut AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang