Kamar Adipati Seto Gumelar dipenuhi oleh para petinggi kadipaten. Raut wajah mereka terlihat bingung sekaligus cemas. Apalagi Dewi Padmandari. Air matanya telah menganak sungai. Tubuhnya terasa lunglai. Hingga harus disangga oleh seorang pemuda tampan yang tak lain adalah putranya sendiri, Lindu Sempana. Seorang tabib kedaton tampak memeriksa seluruh tubuh sang adipati. Sungguh memprihatinkan! Seluruh tubuh Adipati Seto Gumelar lumpuh. Matanya tertutup rapat. Bila dirasakan, tubuh sang adipati sangat panas seperti bara api. Yang aneh! Telapak kakinya nampak memerah.
Dengan hati-hati tabib berusia sepuh itu mencoba memeriksa denyut nadi sang adipati. Baru saja tabib itu menyentuh kulit tangannya, tiba-tiba mata adipati Watugaluh terbuka. Tubuhnya langsung berada dalam posisi duduk. Tatapan marahnya tertuju pada tabib tua itu. Tangan kokoh Adipati Seto Gumelar memberikan gamparan pada wajah si tabib dan membuatnya terlempar dari atas ranjang. Sang adipati kembali tertidur. Patih Sanggabayu memeriksa si tabib. Ternyata ia sudah tak sadarkan diri.
"Hanya dia yang tahu apa yang terjadi di sini, penjarakan dia sementara supaya tidak menyebarkan aib pada khalayak ramai!"
"Baik, Gusti Patih." Tumenggung Jarakan segera melaksanakan perintah.
"Bunda, sebaiknya Bunda beristirahat, Nanda takut kesehatan Bunda akan memburuk," kata Lindu Sempana saat merasakan jika tubuh ibunya semakin lemah. Padmandari tak menjawab. Lindu Sempana melirik patih juga senopati. Mereka mengangguk. Lindu Sempana mengerti. Ia segera mengantarkan ibunya ke bilik. Setelah itu ia kembali lagi ke kamar ayahandanya.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada romo?" Suara Lindu Sempana terdengar sengau.
"Menurut gusti dewi, tubuh sang adipati dirasuki oleh makhluk gaib," kata Patih Sanggabayu.
"Tapi bagaimana mungkin? Kedaton dikelilingi oleh pagar gaib dan makhluk gaib itu pasti kiriman seseorang. Bisa jadi semacam teluh atau sejenisnya," ucap Senopati Reksamantra.
"Mungkin... pagar gaib itu sudah tidak ada. Sebab Mpu Bharada memagari kedaton sewaktu Raden Danurdara masih anak-anak. Kalaupun masih ada, mungkin sudah berhasil ditembus." Patih Sanggabayu mengira-ngira.
"Adakah kaitannya dengan peristiwa ganjil tadi?" sahut Tumenggung Sektiwara.
Patih Sanggabayu menatap Tumenggung Sektiwara. Ia kembali mengingat peristiwa aneh yang terjadi saat lingsir wengi tadi. Mendung disertai guntur mengguncang kedaton. Padahal tadi langit tampak cerah. Tak ada satu pun awan menggantung. Namun tiba-tiba angin bertiup kencang membawa awan mendung. Bahkan petir menyambar-nyambar, mencakar wajah langit. Anehnya! Peristiwa itu hanya terjadi sekejap mata.
"Saya mendapat laporan dari para prajurit jaga, bahwa mereka sempat melihat segumpal cahaya merah yang terlihat berangin-angin di atas kedaton sebelum peristiwa aneh itu terjadi," ucap Senopati Reksamantra.
Terlihat jika Patih Sanggabayu mengangguk pelan. "Barangkali saja. Tapi tidak bisa dipastikan."
Lindu Sempana menarik napas dengan berat. "Lalu apa yang harus kita lakukan? Saya kasihan dengan romo, tubuhnya pasti sangat menderita."
"Sabar Raden." Tumenggung Sektiwara menepuk bahunya. Suasana kamar mendadak senyap. "Bagaimana kalau kita memberitahu Mpu Bharada? Saya yakin dia mampu menjernihkan kekalutan yang saat ini terjadi."
Tampak secercah harapan di wajah mereka semua. "Benar. Segera kirim utusan ke Lemah Tulis. Kabarkan apa yang terjadi pada romo."
"Biar saya yang mengurusnya Raden." Senopati Reksamantra menyanggupi dan mohon diri. Disambut anggukan dari Patih Sanggabayu serta Lindu Sempana. Selama semalaman mereka berjaga di bilik Adipati Seto Gumelar. Sesekali sang adipati menjerit kesakitan. Tubuhnya pun mengejang, pertanda bahwa begitu luar biasanya rasa sakit itu. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Hal ini diluar kemampuan mereka. Ilmu sihir yang terkadang berada di luar nalar dan sulit ditebak. Mereka serahkan semua pada Sang Hyang Widhi juga mengirim utusan ke Lemah Tulis. Menemui Mpu Bharada yang menciptakan dinding gaib kedaton. Barangkali ia mampu mengobati salah satu muridnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keris Weling Putih : Pedhut Asmara
Historical FictionKabut tenung menyelimuti langit Kediri. Penyihir dari Ghirah menjadi biang dari pagebluk yang menimpa rakyat Panjalu. Prabu Airlangga dan Patih Narotama meminta bantuan Mpu Bharada untuk menghentikan kejahatan Calon Arang. Calon Arang juga membantu...