Dua Belas - Pesona

1K 46 8
                                    

Lautan bintang tampak begitu indah tanpa adanya selimut mega. Wulan tumanggal (bulan sabit) itu seperti tersenyum menawan, entah pada siapa ditujukan. Mungkin pada Sukma Astagini. Sang bulan ingin menghilangkan sedikit duka dalam batin gadis itu. Para jangkrik mulai saling menggesekkan sayapnya. Irama malam menggema di dalam hutan.

Sukma Astagini meringis. Luka akibat hunjaman anak panah itu masih terasa nyeri dan sedikit ngilu. Ternyata begini rasanya terkena senjata tajam. Tapi tak apa, luka ini akan membuatnya semakin kuat dan kebal. Jika tidak, bagaimana mungkin dendamnya akan terbalas?

"Sedang menikmati malam?" tanya Pranasuta dengan kedua tangan sibuk meracik sesuatu pada wadah batok kelapa. Entah sejak kapan pemuda itu duduk di dekat perapian. Setahunya mereka tengah ke hutan, mencari kayu dan bahan makanan. Sukma Astagini mendekat lalu duduk di sampingnya.

"Mana Kakang Damarwangi? Kenapa tidak kembali bersama-sama?"

"Dia sedang mencari makanan," jawab Pranasuta singkat sambil terus meracik.

Sukma Astagini hanya memerhatikan. "Kakang sangat pandai meracik ramuan obat. Kenapa tidak menjadi tabib saja?"

Pranasuta tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Menjadi tabib adalah pekerjaan yang mulia, dia bertugas menyembuhkan orang yang sakit atau terluka." Pranasuta memberikan ramuan obat pada Sukma Astagini.

Gadis itu pun menerima dan menenggaknya perlahan. Rasanya aneh!

"Dan dia terikat dengan tugas yang diembannya itu. Sementara pendekar hanya perlu tahu sedikit ilmu pengobatan untuk menolong dirinya sendiri. Kemampuan saya masih terbatas. Belum bisa disebut sebagai tabib." Pranasuta menatap api unggun dan menambahkan ranting kering.

Ramuan itu masih juga belum dihabiskan. Sukma Astagini merasa terganggu dengan kehadiran nyamuk-nyamuk hutan. Berulang kali ia mencoba menepuk nyamuk yang hinggap di tubuhnya.

"Pakai minyak sereh ini!" Pranasuta menyerahkan tabung bambu. "Nyamuk tidak suka dengan baunya yang menyengat."

Gadis itu memakainya dan menenggak lagi ramuan hingga tandas. Tak lama, Damarwangi datang dengan seikat ranting kering dan sesuatu dibungkus daun talas. Pemuda itu pun duduk di depan mereka. Kening Pranasuta berkerut melihat ranting yang dikumpulkan Damarwangi. "Kenapa membawa ranting lagi? Saya sudah mengambil cukup banyak."

"Kamu tidak tahu, malam ini api tidak boleh padam. Ada yang takut gelap." Kalimat terakhir terdengar seperti berbisik.

"Ohh...." Pranasuta mengangguk.

Wajah Sukma Astagini cemberut. "Tidak usah menyindir-nyindir, Kakang!" katanya agak tersipu. Sebab tak bisa dipungkiri jika ia memang takut kegelapan.

"Saya pikir kamu tidak dengar."

"Apa yang kamu bawa, Damar?"

"Hanya singkong, tapi saya takut gadis di sampingmu itu tidak mau makan."

Lagi-lagi Sukma Astagini menatap kesal pada Damarwangi. "Siapa bilang?! Saya suka singkong! Kakang jangan terus mengejek saya!" tukasnya.

Damarwangi tertawa pelan. "Baguslah! Si gadis cerewet akhirnya kembali!"

"Itu karena Kakang yang memancing-mancing!" dengusnya.

Setelah makan, sudah saatnya mereka tidur. Sulit bagi Sukma Astagini. Ia tak dapat memejamkan mata apalagi masuk dalam mimpi. Ditambah malam yang begitu dingin. Alas daun pisang dan pakaian yang membebat tubuhnya tak mampu menghilangkan ganasnya cuaca malam. Sukma Astagini menarik alas tidurnya agak dekat dengan api. Ya, sedikit lebih hangat. Ia mulai berbaring. Gadis itu tercekat. Sekarang ia sangat dekat dengan Pranasuta, hanya dipisahkan oleh api unggun.

Keris Weling Putih : Pedhut AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang