Dua ekor kuda dipacu cukup kencang melintasi jalanan tanah di wilayah Watugaluh. Sejenak dua pemuda yang menunggangi kuda berhenti di pertigaan jalan tanah. Di sisi kiri mereka adalah jalan masuk menuju kotaraja Watugaluh. Dua pemuda tampan itu menggebah kuda terus ke depan. Tunggu! Mereka tidak ke kotaraja Watugaluh, lantas kemana mereka pergi?
Tak jauh dari pertigaan itu, terdapat pula persimpangan jalan dan mereka menarik kekang ke kiri. Menelusuri jalan sempit yang tergerus oleh lebatnya belukar. Pohon-pohon liar semakin lebat. Kuda hitam perkasa yang memimpin di depan menerjang setiap semak. Diikuti kuda cokelat di belakang yang begitu gesit menghindari akar-akar pohon yang mencuat dari dalam tanah.
Di tanah lapang yang letaknya di tengah hutan, berdiri tiga bangunan kemah yang cukup besar dengan beberapa kemah kecil. Teriakan-teriakan menggema berasal dari pria-pria berpakaian layaknya seorang prajurit, yang tengah berlatih tata perang. Gerakan mereka begitu teratur dan lincah, tanda jika mereka sudah begitu menguasai kepandaian seorang prajurit. Sebagian dari mereka memang bekas prajurit yang dilepas jabatan dengan tidak hormat. Bahkan ada pula yang masih berpangkat prajurit berada dalam barisan itu. Sementara sebagian lagi adalah kaum bromocorah yang disewa. Dan sisanya hanya para rakyat biasa yang tak punya pekerjaan tetap.
Adapun yang memimpin gladi perang pagi itu adalah seorang pria berpakaian bagus. Berpangkat tumenggung di Watugaluh. Badannya tegap dengan sorot mata tajam.
"Haa...!" Pria tumenggung itu berteriak dan barisan prajurit mengikuti sambil mengibaskan pedang.
Pedang yang semula menusuk ke depan, kini mereka membawanya ke samping kepala kanan. Kaki kiri diangkat setinggi lutut dan tangan kiri agak merenggang ke bawah. Seorang pria lebih muda tampak membenahi prajurit yang salah posisi. Rupanya tumenggung itu dibantu seorang pandega prajurit. Di sisi belakang barisan, lelaki berbadan sedang terlihat belum sepenuhnya mampu melakukan gladi. Keseimbangan tubuhnya hilang dan ambruk ke samping. Pandega itu langsung mendekati dan menarik tubuhnya agar berdiri.
"Maaf, saya.. saya..."
Plakk!
Seketika lelaki itu terjungkal. Darah segar merembes dari hidungnya. Sang pandega kembali mendekat.
"Kau harus mampu menguasai gelar keprajuritan! Kalau tidak, kembalikan semua kepeng yang telah kami berikan padamu apa pun caranya!"
"Ba.. baik Tuan." Lelaki itu bangkit dan mengikuti gerakan kawannya.
Pandega itu mendekati tumenggung yang mengawasinya sejak tadi. "Sabar saja, Garupa. Sebentar lagi kita akan merasakan nikmatnya hidup di kedaton, dan dendam Kakang Parang Mukti akan segera terbayar!"
"Tumenggung Adinata!" Terdengar teriakan dari arah hutan. Tumenggung dan pandega itu mengulum senyum saat tahu siapa yang datang. Seekor kuda hitam dan coklat tampak berhenti di pinggir lapangan. Dua penunggangnya langsung turun dan disambut ramah oleh mereka.
"Raden Danurdara, Tumenggung Cakrawangsa, sudah lama kami menantikan kehadiran kalian," sambut Tumenggung Adinata.
Mereka pun duduk di bangku kecil dengan alas permadani merah. Bangku itu sengaja ditaruh di luar kemah agar dapat sekaligus mengawasi latihan para prajurit.
"Raden telah berhasil. Perjalanan jauh kalian ke Ghirah tidak sia-sia. Saya menyaksikan sendiri betapa tersiksanya sang adipati. Badannya sangat panas, juga sering kelojotan tiap malam dan mencelakai tubuhnya sendiri," tutur Tumenggung Adinata.
Danurdara hanya tersenyum sinis. "Berarti rencana untuk membuat lengah kadipaten telah berhasil. Bagaimana para prajurit bentukan kita?"
"Mereka sudah cukup tangguh untuk menggempur kedaton, Raden," sahut pandega bernama Garupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keris Weling Putih : Pedhut Asmara
Narrativa StoricaKabut tenung menyelimuti langit Kediri. Penyihir dari Ghirah menjadi biang dari pagebluk yang menimpa rakyat Panjalu. Prabu Airlangga dan Patih Narotama meminta bantuan Mpu Bharada untuk menghentikan kejahatan Calon Arang. Calon Arang juga membantu...