Empat orang itu berlari tak tentu arah. Untuk menghindari kemungkinan terkepung, mereka memang langsung berlari masuk ke hutan lindung. Setidaknya para ayakashi di sana familiar dengan Shima sehingga tidak akan menyakiti mereka.
Beberapa saat yang lalu sempat mereka dengar suara gaduh di belakang mereka. Mereka pun semakin yakin kediaman Shima benar-benar telah diserang. "Tenang saja, aku yakin Shima dan Luz-kun pasti akan melakukan sesuatu," Senra menenangkan.
Keempatnya lelah berlari. Mereka pun memutuskan untuk istirahat sejenak. Kini mereka sedang berada di tengah hutan yang gelap. Mafu berinisiatif menyalakan ponselnya, tetapi Soraru segera melarang.
"Cahaya dari ponselmu bisa memancing makhluk-makhluk itu kemari," terangnya. Mafu menurut. Segera ia matikan ponselnya. Untunglah keadaan tidak begitu gelap. Malam ini bulan bersinar cukup terang.
Di bawah sebuah pohon mereka melepas lelah. Soraru segera memeriksa keadaan Urata. Pemuda itu terkejut begitu mendapati luka di lengan kanan Urata terbuka.
Urata pun sama terkejutnya. Ia tidak menyadari hal itu sejak tadi, saking fokusnya kabur. "Ini buruk," bisiknya lirih, "musuh pasti akan mengikuti jejak darah yang kubuat. Ck! Kita tidak bisa terus diam di sini!"
Senra mengangguk setuju. "Kamu benar. Kita harus segera pergi!"
"Tidak. Biar Soraru dan Mafu saja yang pergi. Senra-san, kita akan tahan mereka di sini," tukas Urata cepat. Soraru dan Mafu terkesiap. "Mana bisa begitu! Kami tidak bisa meninggalkan kalian di sini!" bantah Mafu tak setuju.
Urata menatap gadis itu serius. "Kita tidak boleh gegabah! Bisa jadi yang diincar memang salah satu dari kalian atau malah kalian berdua. Aku dan Senra-san sudah biasa mengatasi hal semacam ini. Kalian tidak perlu khawatir."
Mafu hanya bisa terdiam. Mau tak mau dia harus menurut. Kini, Soraru yang maju mendekati Urata. "Urata, sebentar," pintanya.
Soraru lantas menyibak lengan pakaian Urata dimana terdapat lukanya yang terbuka. Setelah itu, ia menyingsingkan lengan bajunya sendiri, mengekspos lengannya yang putih.
Sadar akan apa yang hendak Soraru perbuat, Urata buru-buru menarik tangannya. "Jangan lakukan itu, Soraru!" tolaknya, "lukaku tidak seberapa parah."
"Tetap saja akan merepotkan," Soraru lekas menukas, "akan jadi masalah kalau gara-gara luka itu pertahananmu lengah. Mereka tetap akan menyusul kami."
Mendengar perkataan itu, Urata terdiam. "Tolong mengertilah, Urata," pinta Soraru sekali lagi. Urata menghela napas. "Mereka akan mencium bau darahmu dari jarak berkilo-kilometer," ujarnya.
Soraru menanggapi dengan santai, "Tak masalah, kurasa Senra-san bisa mengatasinya." Senra tertawa kecil. "Tahu saja kau, ya,"
Setelah berkata begitu, Senra mengeluarkan segulungan perban dari balik yukata yang ia kenakan. Lalu sambil mengeluarkan sebilah belati yang selalu ia bawa, Soraru berkata, "Sini, kemarikan tanganmu."
Mau tak mau Urata mengangkat lengan bajunya, menampakkan luka yang terlihat masih baru. Dengan cepat Soraru menyayat lengannya. Suara belati yang beradu dengan daging membuat Mafu ngilu. Apalagi ketika cairan kental berwarna merah itu meluncur turun dari sayatan yang Soraru buat.
Pemuda itu buru-buru menampung darahnya, kemudian dengan segera mengusapkan darah itu ke luka Urata. Hanya butuh waktu beberapa detik hingga luka itu menutup dengan sendirinya.
Mafu terdiam. Kalau dipikir-pikir ini tidak adil. Darah Soraru bisa menutup luka orang lain, sedangkan lukanya sendiri tidak sembuh dengan instan. Sama saja dengan melukai diri sendiri untuk kepentingan orang lain, bukan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Memento
Ficción General"Oto-san... Okaa-san... " Kau tahu? sejauh apapun dia melangkah, hanya bayang-bayang masa lalu yang membuntutinya. Yang ia lakukan hanya merintih, meleburkan butiran airmata dari manik spicanya. Terus berjalan sendirian pada malam hari, di bawah bi...