{BAG 13} : Ketidak-pekaan Nakula

102 10 3
                                    

Tidak apa-apa, hanya saja kecewa itu perlu di redakan agar tidak terjadi kekacauan.

***

"Gampang saja, setelah goreng langsung tumis."

Alano terbahak. "Tak segampang itu La, Punya istri mah enak. Ada yang masakin, lah Jomblo siapa yang masakin? Mbak-mbak kantin?"

Nakula melemparkan kulit jeruk ke arah Alano."Nikah makanya, gantung orang mulu."

Alano nyengir.

"Ayla gimana?" Alano mengangkat tumisan Ayam bacem-nya. Ngomong-ngomong Alano ini sangat pintar dalam bidang masakan. Tak elak, dia begitu gigih ketika di dapur.

"Baik, kayanya tadi kecewa deh." Nakula memakan jeruk-nya.

"Kenapa?"

"Biasa. Mau Es-krim, gu--"

"Gak ngisinin?" Potong Alano, "Lo jadi laki peka dikit napa, cewe tuh bilang ngak tapi Iya! gue peluk nih Si ayla."

"Ngomong yang baek, ingat gaji. Berapa juta gue potong."

Alano menelan salivanya. Kalau soal gaji, itu adalah salah satu kelemahanya dalam bekerja.

Karna menurutnya. "Buat apa kerja kalau gak di gaji. Mending di kasi makan, kalau kagak? Itu manusia atau siluman?"

"Gue udah beliin Es-krim."

"Ngomong jangan sepotong-sepotong bisa bhambhank?!" greget. Iya, Alano greget melihat cara bicara Nakula yang setengah.

Nakula mengimbaskan tanganya tidak peduli.

***

Di dalam kamar yang terlihat kelam. Dinding begitu usam, pakaian berserakan di lantai. Botol minuman bertebaran di lantai. Lantai terlihat sangat kotor.

Dia. Terduduk di pojokan, meratapi nasib yang kian bengis. Kota ini memang kejam, Dunia ini memang sangat kejam. Ia melihat ke jendela, melihat orang berlalu-lalang.

Melihat orang saling melemparkan senyuman, anak kecil menangis. Tindak kekerasan dimana-mana bahkan manusia yang berada di dekatnya hanya melihatnya tidak peduli. Melihatnya tidak minat.

Dia terkekeh miris. Dunia ini memang kejam.

Mata kelamnya beralih ke arah atas meja. Puntung rokok sangat tak enak dipandang oleh mata.

"Fyuuuhh... " Dia menghembuskan nafas sambil mendogak ke-atas.

"Dia sudah menikah? Patah hati kesekian kalinya... Lagi." dia terkekeh sambil mengusap surai rambutnya dengan sela jari.

"Kalau pun dia sudah menikah, tidak akan pernah menjamin kalau dia akan bahagia bersama pria pilihan dari kakanya. Semuanya akan berubah pada waktunya. " Pria itu berdiri dan menjalan sempoyongan.

Ia langsung menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur yang tidak terawat.

Dia terlihat sangat kacau.

***

Arneeta bersedekap dada melihat Khayla didepannya yang tersenyum merekah. Mata Arneeta kian bengis menatap netra hazel Ayla.

Hari ini dirumah itu hanya ada Arneeta dan Ayla berdua didalam rumah. Pelayan tidak akan masuk jika Arneeta tidak mengizinkan.

"Ada apa kak?" Ramah. Arneeta mendecih sinis.

"Gak usah sok ramah! Kenal sama gue ngak!" ketus Arneeta.

Ayla menahan tawa. Entah kenapa suasana kali ini tidak mendukung ia untuk takut, ia malah ingin tertawa saat melihat keketusan kakak iparnya.

"Iya, lalu? Ada apa memanggil aku?"

"Gue mau lo itu bersihin kamar gue, terus kamar mandi jangan lupa. Gue paling gak suka kamar mandi berantakan, debu-debu yang nempel Pokoknya bersihin. Setelah itu ke taman belakang, potong rumput, lalu siram tanaman."

Khayla tersenyum kecil. "Itu saja?"

Arneeta mengeryitkan dahinya heran. Ini bukan pekerjaan sedikit ataupun sebentar, pekerjaan rumah tidak semudah itu yang kita pikirkan.

Arneeta pergi dari sana, tak lupa melemparkan senyuman sinis ke arah Khayla.

Khayla meledakkan tawanya. "Hahaha... " dia memegang perutnya yang rasanya sangat geli. Entah kenapa melihat kemarahan Arneeta menjadi sesuatu hal yang lucu.

***

"Pah, bertahan, papah pasti bisa sembuh, Aku yakin bisa." Dian memegang tangan pucat Rahman sambil terus berdoa.

Rahman mengelus kepala Istrinya sambil tersenyum kecil, "Hidup berapa lama kita di dunia tidak ada yang tau, sayang. Hidup dan dan mati itu tidak ada yang tau. Hidup kita dua puluh empat jam, ditangan Allah, tidak ada kata nanti, jika ajal sudah ada di depan mata kita."

Dian menjautuhkan air matanya. Empat puluh tujuh tahun mereka bersama, suka dan duka mereka lewati, jatuh bangun mereka hadapi. Perjalanan kisah yang mata sangat panjang.

Demi apapun, Dia sangat mencintai Rahman.

"Jangan menangis, " Rahman menghapus air mata yang keluar dari pada mata Dian, dengan tangan yang terbaluki oleh infus dan satunya darah. "Air matamu terlalu berharga untuk hal seperti ini, simpan air matamu. Sisahkan nanti ketika aku meninggal."

Dian menampar lengan Rahman, lalu mendegus jengkel. dalam seperti ini, masih sempat-sempatnya dia bercanda.

Tapi ... Kalau boleh merasa, sedari tadi perasaanya tidak enak entah karena apa. Naluri seorang ibu itu tak pernah melenceng.

Entah apa, Terasa aneh bagi Dian.

**

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KEKASIH IDAMAN~KU [Short story 1] SLOW UPDATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang