1 - Malam Pernikahan

9.9K 581 31
                                    

Warning!

Cerita mengandung explicit content!

--

Aku Lyra.

Usiaku 17 tahun.

Dan malam ini adalah malam pernikahannya.

--

Aku tiba 5 menit lalu bersama orang tuaku, mereka sudah menghambur menyalami pengantin bahagia itu. Sementara aku, memutuskan sedikit berdusta dengan mengatakan bahwa aku ingin ke toilet.

Nyatanya, sekarang aku berdiri disini, di sudut ruangan yang tidak terlalu remang di dekat gantungan coat, posisinya jelas tidak terlihat dari arah panggung pelaminan yang terlihat seperti pernikahan kerajaan. Dengan hiasan lampu gantung kristal yang berkilauan. Mewah dan elegan.

Dan aku melihat mereka dengan jelas dari sini, berusaha menahan air mataku untuk tidak keluar. Sial sekali kalau aku malah menangis di hari bahagia mereka. Itu akan sangat memalukan dan menimbulkan pertanyaan.

Di depan sana, mereka tersenyum bahagia saat melihat orang tuaku menyalami keduanya. Si mempelai lelaki sedikit kebingungan, tatapannya mencari ke sekitar namun Mama mengatakan sesuatu yang membuatnya mengangguk.

Namun sepertinya mempelai lelaki itu tau kalau aku berbohong, begitu orang tuaku pergi, ia kembali menatap sekitar dengan tatapan khawatir yang tidak bisa disembunyikannya, membuatku beringsut semakin bersembunyi di balik gantungan.

Tidak, ia tidak boleh melihatku.

"Soda, miss?" Seorang pelayan dengan tuksedo menghampiriku dengan nampan berisi beberapa gelas tinggi soda.

"Tidak, terima kasih," gelengku sopan.

Pelayan itu berlalu dan aku kembali menatap ke depan. Radius 40 meter jauhnya, aku bisa melihat dengan jelas betapa gagahnya ia dalam balutan baju tuksedo putih itu. Rambutnya ditata hair up, menampakkan dahinya yang indah dengan sepasang alis lurus tebal menaungi mata kecilnya yang tajam.

"Kalau kita menikah, aku akan mengenakan tuksedo ini. Ini keren."

Ucapannya di masa lalu terngiang di benakku. Aku tersenyum getir. Kepada siapa janji itu ditujukannya?

Lelah bersembunyi, akhirnya aku menyerah dan menerima segelas soda yang kembali ditawarkan kepadaku, meneguknya cepat.

Lantas melangkah mantap menuju pelaminan, seorang diri. Orang tuaku entah duduk di meja mana.

Aku akan menyalami pengantin itu, menunjukkan bahwa aku masih bisa tersenyum setelah ia merusak kepercayaanku. Tidak peduli meski perasaanku di dalam sini sedang hancur-hancurnya.

Tapi kemudian pembawa acara itu mengatakan bahwa dia akan mempersembahkan sebuah permainan dari grand piano putih yang ada di ujung panggung pelaminan.

Tepuk tangan sontak terdengar, beriringan dengan dia yang bangkit dari duduknya dan menghampiri piano itu.

Alih-alih tersenyum cerah, dia justru tersenyum dengan ekspresi yang sulit diartikan. Bukan bahagia, bukan pula sedih.

Für LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang