🐚Sembilan🐚

13.7K 1.4K 130
                                    

Sesuai dengan perintah dari pria paruh baya yang sudah memberikan kasih sayang seorang ayah untuknya, siang ini Maudy mengunjungi rumah Ahmad Ramadhan, si paman tercinta yang kini tengah duduk tenang di hadapannya di ruang kerja ini.

Meski belum mengatakan sepatah kata pun, Maudy tahu jika pamannya itu sudah mengetahui mengenai pria yang kini sedang dekat dengannya.

Salahnya juga yang waktu itu iseng ingin mencandai bibinya, hingga tak memikirkan jika keisengannya tersebut akan sampai ke telinga sang paman, yang pasti telah menyiapkan rentetan pertanyaan yang ingin ditanyakan padanya.

"Bibi kamu sudah menceritakan semuanya sama paman. Katanya pacar kamu usianya lebih muda beberapa tahun saja dari paman, benar begitu, Di?"

Hah... tak kentara Maudy menghela napas perlahan karena sesi introgasi terhadapnya akhirnya dimulai juga.

Maudy sebenarnya belum siap jika kisah percintaannya dengan sang kekasih diketahui oleh keluarganya secepat ini. Namun apa boleh buat, nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Siap tak siap Maudy harus mengatakan kepada keluarganya perihal statusnya yang tak lagi menjomblo.

Lagi pula, kekasihnya itu adalah pria yang tampan dan menawan, jadi Maudy akan dengan bangga mengenalkan pria itu kepada keluarga terdekatnya.

"Sudah selesai melamunnya, Di? Atau paman harus menunggu lebih lama lagi untuk mendengarkan jawaban kamu?"

Mendengar adanya sindiran dari pertanyaan yang diajukan paman kesayangannya, Maudy meringis tak enak hati. Tidak ingin menjadi keponakan yang durhaka, ia pun berkata, "Maafin aku ya, paman, kalau aku nggak sengaja udah buat paman marah."

Si paman yang sangat menyayangi keponakannya itu hanya bisa menghela napas panjang seraya mencoba memaklumi tingkah aneh sang keponakan.

Ahmad tak bisa mengungkapkan seberapa besar rasa sayang yang ia punya untuk satu-satunya anak dari mendiang adiknya itu. Maudy bukan hanya sekadar keponakan baginya, tetapi sudah ia anggap seperti anak sendiri. Ahmad tak mungkin lupa permintaan terakhir adiknya sebelum pria malang tersebut menutup mata untuk selamanya.

Karena itulah hari ini Ahmad meminta Maudy untuk menemuinya. Setelah mendengar cerita dari istrinya, Ahmad yang baru saja kembali dari luar kota terlonjak kaget dibuatnya.

"Sekarang, malah giliran paman yang melamun." celetuk Maudy yang disertai senyum kekanakan. Dalam sekejap ia sudah berpindah duduk di samping pria paruh baya pengganti ayahnya itu dan menggayut manja di lengannya. "Jangan marah-marah ya, paman. Nanti keriputnya makin banyak, trus nggak ganteng lagi deh."

"Kamu ini... " Ahmad kehilangan kata-kata. Sikap manja Maudy membuat ia tak berdaya. "Sudah besar juga, masih saja nggak hilang sifat manjanya. Sekarang bilang sama paman, benar kamu punya pacar yang umurnya lebih cocok jadi ayah kamu?"

Maudy tersenyum lebar. Ia mendongak dan memasang ekspresi bak anak kucing yang minta dikasihani seraya mengangguk untuk membenarkan.

Mata Ahmad membesar, bukan karena marah tapi lebih ke arah terkejut.

"Paman 'kan pernah bilang kalau aku bebas memilih pasangan, berapapun umurnya atau siapapun orangnya. Yang penting akunya ngerasa nyaman dan yakin kalau lelaki itu adalah orang yang tepat untukku." ujar Maudy saat melihat pamannya masih terpaku tanpa bisa berkata-kata. "Nah... lelaki yang jadi pacar aku, meski umurnya memang bisa dibilang lebih pantas jadi ayahnya aku, tapi selain ngerasa kalau dia adalah orang yang tepat, aku juga ngerasa aman dan nyaman sama dia."

"Kamu cinta sama dia?" tanya Ahmad setelah cukup lama terdiam.

"Iya." jawab Maudy mantap.

"Dia juga cinta sama kamu?"

Si Cantik, Penawan Hati [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang