🐚Duapuluhdua🐚

9.3K 1.4K 185
                                    

Okelah, demi menghormati teman2 yg sudah mendukung saya dan kompak bilang supaya cerita ini tetap dilanjutkan sampai tamat, bab ini saya update buat teman2 semua. Maaf kalau pengumuman yg saya buat bikin kalian kaget. Saya cuma ngerasa agak sedih aja soalnya makin ke sini, cerita ini makin kehilangan peminatnya.

Jujur aja, cerita ini sudah saya tulis sampai bab epilog. Jadi, kalau targetnya terpenuhi, saya tinggal update bab selanjutnya. Tp ya, karena targetnya sangat susah terpenuhi, maka update'an yg seharusnya lancar jadi tersendat-sendat.

Udah ya, segitu aja cuap2 dari saya. Buat targetnya, masih sama kayak bab yg sebelumnya. Selamat membaca, dan semoga dukungan kalian semua nggak semakin berkurang buat cerita ini.

🍎🍎🍎

                                                          

Untuk ketiga kalinya Ryan berada di rumah ini. Rumah yang walaupun tak tampak semewah rumah-rumah yang ada di sekelilingnya, namun aura yang dipancarkan dari rumah ini betul-betul menenangkan.

Tidak seperti kedatangannya beberapa bulan yang lalu, kali ini Ryan datang dengan membawa sedikit rombongan bersamanya. Jika dulu hanya Kiana yang menemaninya, maka di acara lamaran kali ini Ryan didampingi juga oleh kedua sahabatnya yang entah mengapa sedari berangkat tadi kompak memasang ekspresi masam di wajah mereka.

Dan yang lebih membuat jantung Ryan bertalu kencang, di ruang tamu yang didominasi warna coklat tersebut, sang tuan rumah duduk di hadapannya dengan diapit oleh istri juga putra semata wayangnya.

Sedangkan wanita bertubuh sehat dengan perut besarnya itu tampak duduk bersama Maudy dan Kiana di sofa yang melekat ke dinding, yang tak begitu jauh jaraknya darinya itu.

Gugup sudah pasti Ryan rasakan. Namun karena tekatnya sudah bulat untuk menikahi Maudy, maka Ryan berusaha sangat keras membuat dirinya terlihat tenang di hadapan pria paruh baya yang tampak sangat berwibawa di depannya itu.

"Jadi, anda sudah benar-benar yakin untuk menikahi Maudy?" Ahmad memulai pembicaraan sekaligus memecah kebisuan yang sempat melingkupi ruang tamunya.

"Saya sudah yakin, pak!" Ryan mengangguk mantap. Ketegasan yang terpancar dari matanya seakan menunjukan bahwa ia tak akan mundur apapun yang akan terjadi nantinya.

"Siap dengan ucapan nyinyir orang-orang tentang Maudy yang pernah dipenjara?"

"Saya siap, pak." Lagi Ryan menjawab dengan kalimat pendek.

Melihat serta mendengar secara langsung keyakinan Ryan Permadi dalam menjawab dua pertanyaan darinya, Ahmad mengangguk tak kentara. Setidaknya, walau belum terlalu mengenal pria yang dipilih sang keponakan untuk menjadi pendamping hidupnya, Ahmad cukup memiliki keyakinan jika pria yang duduk di balik meja bersama kedua temannya itu bisa diandalkan.

Selama ini intuisinya tidak pernah salah. Dan Ahmad berdoa semoga kali ini juga begitu.

"Maudy itu manja, suka semaunya sendiri dan tak tau aturan, apakah anda tidak takut akan malu mempunyai istri dengan kepribadian seperti itu?"

Suara bernada datar tersebut membuat Ahmad langsung menoleh ke samping kanannya, dimana sang putra semata wayang yang beberapa saat lalu memberikan pertanyaan terlihat begitu serius menatap lawan bicaranya.

Setelah mendapat pertanyaan mengenai sifat calon istrinya yang tak ada manis-manisnya itu, tanpa sadar Ryan tersenyum sendiri. Ia tahu di saat seperti ini yang dibutuhkan adalah keseriusan darinya, bukannya malah tersenyum saat membayangkan Maudy dengan segala tingkahnya yang menggemaskan.

Si Cantik, Penawan Hati [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang