"Yeah, this is me. A handsome bad
Boy." -Adriel Aldra Bagaskara.oOo
"Jadi bagaimana? sudah jelas ingin tinggal dimana?" Tanya pria yang sudah memasuki kepala enam itu.
"Iyel sama lele sih pengennya tinggal sendiri yang." Jawab Adriel.
"Eh! Jangan panggil Lexa lele!"protes Lexa karena namanya diubah seenak jidat oleh Adriel.
"Biarin, wle."
"Eyaaang, liat kak Driel tuh." Adu Lexa kepada kakek mereka,
"Sini yang liat Iyel, ganteng kan?" Sahut Adriel yang membuat Lexa merotasikan kedua bola matanya malas.
"Sudah-sudah balik ke topik awal. Kalian sudah dapat referensi tentang tempat tinggal yang akan kalian tempati?"
"Udah nih yang, beberapa dari Kak Kean. Ada juga yang dari teman Lexa, si Aquelin." Jawab Lexa sambil memberikan tab nya agar kakek nya itu bisa melihat-lihat tempat mana yang bagus untuk mereka-Adriel dan Lexa-tinggali.
"Ooh bagus, yasudah sini eyang lihat-lihat dulu baru nanti eyang beritahu mana yang bagus dan cocok untuk kalian."
"Oke eyang."
Lalu Adriel Dan Lexa ingin beranjak pergi dari kantor kakek mereka tersebut.
"Eyang pulaaaaang." Seruan cempreng tiba-tiba menggema di seluruh ruangan dan membuat makhluk hidup yang ada didalamnya diam tak berkutik.
NENEK SUDAH DATANG!
NENEK DATANG!
NENEK!
NEN-
Secepat mungkin Adriel dan Lexa bersembunyi di ruangan yang luas itu namun, mereka kalah cepat karena tiba-tiba lagi muncul sebuah kepala yang kedua mata dari kepala itu langsung menuju ke arah mereka.
Satu ...
Dua ...
Ti-
"CUCU-CUCU EYAAANG! APA KABARNYA SAYANG?!" Kalimat tanya itu diucapkan nenek sambil berlari ke arah mereka dan memeluk mereka satu persatu yang sudah hampir tercekik kehabisan nafas.
"Ba-baik kok yang hehehe, ki-kita ke kamar dulu ya yang cape nih." Jawab Lexa sambil memelaskan mukanya agar nenek merasa kasihan dan membiarkan mereka pergi.
Kakek sudah tau cara menghindari nenek, yaitu kakek langsung pura-pura tidur agar nenek tidak mengganggunya.
"Oo, begitu. Yasudah kalian pergi ke kamar kalian masing-masing ya sayang, tapi nanti malam kalian harus cerita segalanya kepada eyang, oke?"
"Siap komandan!" Jawab Adriel dan Lexa serempak.
Mereka pun berjalan ke arah pintu, mereka sudah melewati nenek, mereka ingin memutar gagang pintu, dan sebentar lagi mereka akan keluar, dan-
"Cucu-cucu eyang." Langkah mereka kembali terhenti karena nenek memanggil mereka.
"Kenapa lagi eyang sayang?" Jawab Adriel pasrah.
"Cium dulu dong, sini."
"Fyuhhh"
"Adriel dulu sini keningnya, mwah. Pipinya, mwah. Hidungnya, mwah. Lanjut Lexa. Keningnya, mwah. Pipinya, mwah. Hidungnya, mwah. Sudaaah, selamat berjumpa lagi sayang."
"Love you, eyang." Setelah itu akhirnya mereka pergi dari ruangan itu dan berlari ke kamar masing-masing untuk mencuci muka mereka yang penuh dengan bercakan lipstik merah eyang tersayang.
***
"Kita bisa tinggal bersama sayang. Kalian tidak harus pindah. Tante akan berusaha menjadi mama yang baik." Ucap seorang wanita dengan nada yang dimanis-maniskan.
"Bullshit." Ketus Levin tiba-tiba yang membuat tiga kepala langsung menoleh ke arahnya.
"Levin, jaga bicara kamu! Kamu itu keluarga terhormat! Berbicaralah seperti orang yang terhormat!" Jawab Arthur dengan nada yang keras kepada anak bungsunya tersebut.
"Kenapa pa? Papa gila hormat? Iya? Papa merasa orang yang terhormat? Menikah setahun sekali dalam waktu tiga tahun berturut-turut setelah istrinya meninggal dan masih berfikir papa itu orang yang terhormat?" Jangan pancing Levin jika ia sedang marah, lihat saja ia malah semakin menantang ayahnya sendiri.
"Kamu di bayar berapa sama Papa saya?" Ucapan Levin pun sukses membuat emosi ayahnya memuncak.
Arthur berdiri hendak memberi pelajaran kepada Levin. Tapi Alethea menghalangi jalan sang ayah, "Ale! Minggir kamu!"
"Anda berani menyakiti adik saya berarti Anda harus melawan saya terlebih dahulu, karena saya masih berfikir dengan otak saya bahwa saya masih bertanggung jawab sebagai kakak untuk menjaga adiknya. Bukan malah seperti orang yang berada di hadapan saya ini." Kalimat tajam dan menusuk dari anak sulungnya menghentikan langkah Arthur dan ia menjadi semakin frustasi dengan tingkah anak-anaknya sendiri.
Hening.
"Sudah? Tidak ada lagi? Kami pergi. Semoga keluarga baru ini dipenuhi dengan cinta dan kasih sayang." Masih dengan tatapan bencinya Alethea bangkit dari sofa dan diikuti oleh Levin, mereka keluar dari ruangan itu dan langsung menuju mobil mereka masing-masing untuk pergi dari mansion yang mereka pijak sekarang ini.
Saat mereka berdua berjalan keluar seluruh penjaga dan maid yang mereka lewati menyembunyikan raut wajah mereka yang sedih dengan menundukkan kepala.
"Non, den," panggil bi Jamilah tiba-tiba yang sedari tadi menunggu mereka keluar.
"Loh, Bibi? Kenapa bi? Bibi ko nangis?" Tanya Levin kepada pengasuh mereka itu yang sudah lebih dari sepuluh tahun bersama mereka.
"Endak papa kok d-den bi-bibi cuma mau kasih ini buat den dan non. Terima ya den, non. Walaupun itu murah tapi bibi harap kalian bisa ingat bibi dimanapun kalian berada." Tutur bi Jamilah dengan nafas yang masih sesenggukan.
Tangisan Alethea langsung pecah saat itu, ia langsung memeluk pengasuh tersayangnya itu.
"Bibi jangan sedih ya ... Nanti Ale sama Levin sering-sering liatin bibi kemari, oke?" Ucap Thea menenangkan Bi Jamilah.
"I-iya non, percayalah non,den, bibi sayang sekali kepada kalian berdua, kalau ada apa-apa kabarin bibi ya."
"Iya bibiiii."
"Yaudah, kami pergi ya bi. Bibi baik-baik ya." Ucap Levin menyudahi acara tangis-menangis itu lalu sekilas memeluk Bi Jamilah dan menyalamnya.
"Iya den, kalian juga ya."
"Daah Bibi."
"Daah sayang-sayangnya bibi."
Mobil mereka pun melaju kencang keluar dari pekarangan mansion dan hilang dari pandangan setelah melewati pagar yang menjulang tinggi.
Arthur dengan tampang kusutnya melihat kepergian anak-anaknya dari balik jendela lantai atas kamarnya. Sementara Jasmine tersenyum licik dibalik wajah sedihnya yang palsu.
oOo
Yeah, siapa yang baru siap UN disini?
Apa kabar kalian?🙂
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold
Teen FictionKarena hidup tidak seindah cerita yang selalu didongengkan ibumu. Let's enjoyed!