Jingga 7

10 1 0
                                    

Rea meregangkan otot-otot tangannya, setiap hari berkecimpung dengan rumus-rumus yang membuat otaknya seperti kebakar. Rea tidak habis pikir, hari-harinya penuh dengan rumus. Bisa-bisa di dalam otaknya jutaan neuron berbentuk rumus. Rea menyandarkan punggungnya, memejamkan mata sebentar untuk menghilangkan penat.

"Re, mau ke kantin?"

Rea masih menikmati alam tidurnya.

"Rea, mau nemenin gue ke kantin?"

"Ayok."

Kalimat pertama yang Rea dengar berasal dari sang sahabat, si Nti, tapi Rea tidak menggubris sama sekali. Saat Angkasa yang melontarkan kalimat itu, secepat kilat Rea mengiakan ajakannya. Sungguh, Nti mengutuk sahabat laknatnya itu. Patah hati membuat Rea lebih agresif, dari yang dulunya pendiam dan lihat sekarang. Nti hanya bisa memijat pangkal hidungnya melihat perubahan Rea.

"Laknat, lo."

Rea hanya menjulurkan lidahnya, lalu pergi tanpa dosa mengandeng tangan Angkasa.

"Tumben minta temani? Udah mulai suka, ya?"

"Kalau iya kenapa?"
"Ya... Bagus." Rea menyapa adik kelasnya. "Hai... Lo ganteng."

Angkasa hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Rea. Sedangkan adik kelasnya itu tersipu malu.

"Sandiwara lo bagus."

Rea melirik Asa tajam. "Maksud lo?"

"Di depan gue, lo nggak perlu sandiwara kayak gini." Asa menjeda ucapannya. "Lo bisa berbagi duka sama gue, Re."

Rea hanya diam. Sekarang, sudah ada tiga orang yang mengetahui betapa lemahnya Rea. Mungkin Nti dan Asa tidak sedalam Awan yang sangat mengetahui seluk beluk penderitaan Rea. Tapi, Rea senang, paling tidak, ia bisa berbagi dengan orang lain jika nanti Awan sibuk.

Kantin terlihat sangat ramai siang itu. Rea memilih tempat duduk di sudut kantin. Tersisa dua bangku, pas untuk dirinya dan Asa.

"Mau makan apa?"
"Susu milo saja, Sa."
"Nggak makan nasi?"
Rea menggeleng pelan.
"Kenapa? Nanti sakit."
"Nggak apa-apa."

Angkasa mengedikan bahunya, lalu pergi. Rea menatap sekeliling kantin, matanya bertemu dengan seseorang yang sangat ia kenal. Awan, cowok itu duduk di pojok kanan kantin dan sendirian. Rea hampir lupa dengan Awan, padahal setiap hari Awan selalu menemaninya ke kantin. Rea merasa bersalah, apa lagi dengan kondisi Awan sekarang yang sangat membutuhkan Rea.
Rea ingin beranjak dari tempat duduknya, tapi sayang Angkasa lebih dulu menahannya.

"Mau ke mana?"
"Anu... Mau ke... Ke... Oh mau ke sana." Rea menunjuk kulkas tempat susu milo terperangkap di sana.
"Ini sudah gue beliin." Asa memberikan satu kaleng susu milo.
"Makasih."

Rea tampak gusar, matanya terus menatap Awan yang Rea yakini bahwa Awan juga menatapnya. Rea hanya merasa bersalah telah melupakannya, padahal Rea sudah berjanji akan selalu ada untuk Awan.

"Lo kenapa, sih, Re?" Asa nampak risih melihat Rea yang gelisah seperti duduk di bara api.

"Eh... Nggak apa-apa. Gue ke temen gue dulu, ya, Sa." Rea ingin beranjak, tapi tangan Asa kembali menahan.

"Gue mau lo nemenin gue makan."

"Tapi...."

Tangan Rea digenggam erat oleh Angkasa. Rea kembali menatap Awan yang pergi dari tempat duduknya. Rasa bersalah kembali muncul. Rea jahat, Rea jahat. Rea mengutuk dirinya atas tindakannya.

Rea meraih ponselnya dari saku seragam. Mencari kontak Awan, lalu mengirimkan pesan.

Kak, maaf :(

Kisah Dalam Senja (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang