Pukul tiga dini hari. Rea masih terjaga, matanya terus saja basah karena air matanya tidak kunjung kering. Rea masih merasakan sesak yang begitu dalam. Tapi, mengapa Rea sampai sebegitu sedihnya ketika melihat Angkasa memiliki kekasih. Rea bahkan tidak memiliki hubungan khusus, jadi seharusnya Rea tidak berhak merasakan semua ini. Apa Rea cemburu? Atau Rea kecewa karena perlakuan Angkasa yang semena-mena mempermainkan hatinya. Angkasa hanya mengungkapkan rasa suka, bukan sayang apalagi cinta. Suka dalam artian apa? Atau Rea yang salah mengartikan semua yang Angkasa lakukan? Air mata Rea kembali mengalir deras. Matanya sudah sangat sembab karena menangis semalaman. Bahkan Rea tidak makan selain tiga sendok bubur ayam bersama Satria sore tadi. Rea menutup wajahnya menggunakan bantal, gadis itu berteriak tertahan agar tak didengar orang luar. Dari sore tadi ponsel Rea terus saja berdering, Rea tahu siapa yang menelponnya. Namanya sudah jelas, orang yang saat ini sedang Rea tangisi. Sekarang pukul tiga pagi, ponsel Rea berdering terus menerus. Rea melirik dan samar-samar melihat nama yang tertera.
Rea menggeser icon hijau untuk menghubungkan panggilan.
"Halo?" Suara Rea terdengar sangat parau.
"Wajar saja di luar hujannya deras banget, lo lagi nangis."
"Kak, sakit."
"Menangislah sepuas yang lo mau, inget untuk malam ini saja. Besok gue mau lihat senyuman manis di wajah lo."
"Mau peluk."
"Ada guling?"
"Ada."
"Bayangin kalau itu gue, lo bisa peluk seerat yang lo mau. Sekarang pejamin mata lo, teleponnya nggak gue matiin supaya lo ngerasa gue ada didekat lo."
Rea mengikuti perintah Awan. Perlahan gadis itu memeluk erat guling yang ia bayangkan sebagai kakak kelasnya. Matanya menutup sedikit demi sedikit. Napasnya masih tersengal, senggugukan yang timbul akibat menangis semalaman masih terdengar. Lama-kelamaan Rea hanyut dalam alam bawah sadarnya.
"Gue nggak akan pernah ninggalin lo, Re. Gue sayang lo. Selamat malam."
###
Rea bangun tepat pukul lima pagi. Tidur hanya tiga jam membuat mata Rea sembab. Rea bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju cermin. Gadis itu melihat pantulan wajahnya yang sangat menyedihkan. Rea mengambil handuk lalu pergi ke kamar mandi.
Selesai bersiap-siap, Rea keluar dari kamarnya dengan membawa tas yang ia seret lesu. Hari ini rasanya Rea tidak bersemangat seperti biasanya. Rea berjalan lambat menuju meja makan yang sudah ada orang tua dan satu adik laki-lakinya.
"Re, kamu sakit?" Bunda Rea menghampiri ketika Rea sudah duduk di kursi makannya. Rea menjawabnya denagn gelengan lemah.
"Rea, kalau kamu sakit nggak usah sekolah. Nanti ayah yang bilang ke wali kelas kamu."
"Rea nggak apa-apa, ayah, cuma kepakean belajar."
"Habis nangis lo?"
"Rei, yang sopan sama kakakmu!" tegur sang bunda. "Kamu nangis kenapa? Apa di sekolah ada yang menyakiti kamu?"
"Nggak ada, ini karena kebanyakan nonton drama sedih semalam."
Rea mengambil roti yang sudah disiapkan sang bunda. Gadis itu menggigit dua kali, lalu meletakkannya kembali. Rea mengahabiskan susu yang selalu menjadi kesukaannya.
"Rei, hari ini kakak ikut kamu ya?"
"Motor kamu ke mana, Re?"
"Di bengkel, ayah."
"Iya, sudah, Rei kamu antar kakakmu dulu."
Rei hanya mengangguk. Rei tahu, kakak semata wayangnya ini telah berbohong. Bahkan Rei tahu, kalau kakaknya tidak menyukai film drama-drama. Semalam juga dia berbohong pergi kerja kelompok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Dalam Senja (Proses Penerbitan)
Teen FictionReanya Jingga Larasati, memiliki kenangan pahit bersama nama tengahnya membuat Rea membenci setiap kali orang-orang memanggilnya Jingga. Merasakan cinta pertama sekaligus luka pertama membuat Rea berubah 180 derajat. Gadis pendiam yang kini menjelma...