Jingga 9

7 1 0
                                    

Sampai detik ini, aku tidak mengerti apa itu cinta? Kadang rasanya seperti terbang ke langit yang paling tinggi, tapi seketika terhempas ke bagian bumi terdalam.
=====

Rea mengemudikan motornya dengan sangat cepat. Pagi ini, gadis itu terlambat bangun membuatnya harus kejar-kejaran dengan waktu. Rea tidak menghiraukan klakson tiap kali gadis itu memotong jalur dengan sembarangan.
Gadis itu tidak memikirkan keselamatannya, ia terus saja menarik tuas gas di tangannya. Hingga ia merasa jalannta tidak stabil, dirasakannya roda bagian belakang oleng.

"Dede upy, ayolah, jangan lemah." Rea mengusap kepala motor seolah sedang menyemangati temannnya.

Tus.

Suara ban pecah. Rea mendengus sebal, kenapa hari ini sial sekali pikirnya. Rea turun dari motornya, melihat bagian roda belakang yang kempes. Lagi-lagi Rea menggerutu. Gadis itu melirik jam tang melingkar di tangannya. Pukul 06.50, tinggal sepuluh menit lagi bel akan berbunyi. Gerbang sekolah pasti ditutup. Rea mendorong motor kesayangannya sambil mencari bengkel terdekat.

"Sial. Sial." Rea menggerutu sepanjang jalan.

Lima menit terbuang. Rea belum juga menemukan bengkel, ia memutuskan untuk istirahat sejenak. Rea mengeluarkan susu milo kaleng dari dalam tasnya, meminumnya hingga tak bersisa. Rea juga mengeluarkan ponselnya, benar saja, terlihat panggilan tidak terjawab dari Nti, Awan, dan hmm... Rea pikir Angkasa akan mencarinya, ternyata tidak. Rea tidak menemukan panggilan masuk dari Angkasa, itu artinya dirinya tidak begitu penting buat Angkasa.

Kak, dede upy ketusuk paku. Kayaknya tetanus harus cepet disuntik anti tetanus.

Send.

Ting.

Lo di mana?

Rea mengerjap. Gadis itu pikir, pesan balasan dari Awan. Tapi ternyata, ia melihat nama yang tertera adalah 'Asaasayang'. Senyum Rea mengembang sangat lebar, sampai melupakan kekesalannya. Dengan cepat Rea membalas pesan Angakasa.

Dede upy pecah ban, gue takut sendirian di sini. Nanti banyak yang godain, secara gue imut dan menggemaskan. Kalau ada yang nyulik gue gimana? Asaayaang siniii, Rea takut.

R

ea terkekeh ketika membaca ulang pesannya. Rea yakin Angkasa akan datang seperti pahlawan super yang seperti di film-film atau seperti cowok-cowok novel yang datang marah-marah karena khawatir terus dipeluk.

Ting.

Ya, sudah pulang saja. Bentar lagi masuk gerbang pasti dikunci dan lo nggak bisa masuk. Gue belajar dulu.

What? Rea menganga melihat deretan kalimat yang tertera di layar ponselnya. Apa-apaan ini, bukannya pemeran utama dalam sebuah novel harus romantis? Ya, paling tidak kalau pun marah-marah tanda sayang. Tapi... Tapi, Rea menggelengkan kepalanya. Pasti salah baca, pasti ini dari Nti, iya Nti. Tidak! Rea bahkan tidak mengabari Nti.

"Angkasa, jelek, jelek, jel...."

"Yakin?"

Rea terbelalak. Suara itu, suara Angkasa, kan? Iya suara Angkasa, tapi bagaimana bisa suaranya sampai di sini.

"Jangan berhalusinasi, Rea."

"Kenapa?" Rea kembali melotot. Ini tidak halusinasi, suara itu terdengar nyata di telinganya. Rea menolehkan kepalanya ke samping. Gadis itu terperanjat hingga hampir terjatuh. Ia melihat Angkasa di sebelahnya.

Kisah Dalam Senja (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang