Jingga 8

10 1 0
                                    

Angkasa berdiri bersandar pada tembok belakang, ia memerhatikan Rea yang masih berkutat dengan buku-buku. Jam perlajaran telah selesai, Angkasa sengaja menunggu Rea untuk pulang bersama. Meskipun pulang dalam artian jalan ke parkir bersama. Sudah hampir sebulan mereka bersama, tapi Angkasa belum berani meminta nomor ponsel Rea. Angkasa masih canggung untuk mengatakannya.

"Sudah selesai belum?"

Rea menoleh ke sumber suara. "Lo belum pulang?"

"Gue nungguin lo dari tadi. Sambung di rumah saja nyatetnya." Angkasa menyingkirkan buku- buku Rea dan memasukkan ke dalam tasnya.
"Kok kayak ada manis-manisnya, ya?" Rea tersenyum jahil.
"Nggak usah GR jadi cewek." Angkasa melangkah pergi.

Rea berlari kecil untuk mensejajarkan langkahnya. "Tungguin."

"Kaki lo pendek."
"Langkah lo aja yang lebar."
"Hem."
"Eh, tunggu, gue mau ke kelas temen dulu." Rea hendak pergi meninggalkan Angkasa. Tapi sayang tangannya di cekal erat oelah Angkasa.

"Bareng gue."

Rea tersenyum. Angkasa tipe cowok yang cuek, tapi kadang-kadang juga manis, seprti sekarang.
Rea terus berjalan menyusuri koridor yang sudah sepi. Tapi berbeda dengan koridor kelas XII, hari ini mereka memiliki jam tambahan, ya karena mau menghadapi ujian nasional. Rea selalu pulang bersama Awan, paling tidak Rea selalu bilang ke Awan untuk pulang duluan. Ponsel Awan mati, otomatis Rea harus menghampiri kelasnya hanya untuk bilang Rea pulang duluan.

Sesampainya di depan kelas. Rea mengintip dari pintu, melihat apakah jam tambahan sudah dimulai atau belum. Sepertinya jam tambahan kelas Awan sudah dimulai.
Rea mengambil posisi di samping pintu yang mengarah tepat pada bangku Awan. Dari tadi Rea memanggil Awan dengan pelan sembari melambai-lambai.

"Kak?" ujarnya melambai. Tanpa perlu waktu lama. Awan bangkit dari kursi dan permisi keluar.

"Belum pulang?"
"Ini mau pulang, tadi mau WA tapi ponsel lo mati, kan?" Awan tersenyum. Ia merogoh saku celananya, lalu memberikan susu milo kotak kecil. "Kecil banget."

"Adanya yang itu."
"Nggak apa-apa, gue pulang ya."
Awan mengacak rambut Rea. "Hati-hati."

Awan tersenyum kemudian kembali ke kelas. Sekilas Awan melihat cowok yang sama ketika di kantin tadi. Awan tidak keberatan, asalkan Rea aman.

Sepanjang jalan, Rea terus asik menyesap susu milo kotak yang diberikan Awan sebelum mereka pergi. Rea terus saja tersenyum senang, seakan-akan tanpa beban.

"Lo suka banget susu milo?"
Rea menoleh. "Banget... Lo beliin gue tiap hari saja. Biar gue tambah suka."
"Hem." Angkasa kembali melirik Rea. "Sepenting itu, ya, Awan bagi lo?"

Rea berhenti. Membuang kotak susu ke dalam kotak sampah, lalu mendekati Angkasa.

"Penting."
"Kenapa? Apa lo suka dia?"
"Sayang malah."

Angkasa terdiam. Kata sayang yang diucapkan Rea terdengar sangat tulus, bukan hanya sekedar ingin menyemburui Angkasa. Tapi, kata itu keluar secara spontan tanpa mikir panjang. Tunggu, kenapa Angakasa terlihat kaget, kenapa juga Angkasa memikirkan hal itu. Baguslah kalau ada cowok yang bisa membuat hidup Rea bahagia. Tapi, kenapa hatinya berdenyut seketika. Tidak! Tidak mungkin Angkasa memiliki perasaan dengan Rea, Angkasa hanya ingin mewarnai hidup Rea. Iya... Hanya mewarnai dalam artian bersahabat, mungkin.

"Kenapa bengong?"
"Nggak."
Rea memincingkan matanya. "Jangan bilang lo cemburu?" Rea menampilkan wajah songong, sok kecantikan.
"Jangan halu." Angkasa melangkah lebih dulu meninggalkan Rea.

"Asaaa... Tungguin." Rea berlari kecil.

"Gue buru-buru." Angkasa menambah kecepatan langkahnya. Angkasa hanya tidak ingin Rea tahu bahwa hatinya sedang berpacu kencang. Lagi pula Angkasa tidak boleh suka, sayang, apalagi cinta sama Rea. TIDAK BOLEH.

Kisah Dalam Senja (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang