Jingga 11

13 0 0
                                    

Rea berlari menuju parkiran. Sesegera mungkin gadis itu menaiki motornya. Bukan tanpa sengaja, ia tidak ingin bertemu Angkasa. Sejak kejadian tadi pagi, jantungnya mendadak aneh. Sepertinya Rea harus ke rumah sakit, mungkin bukan hanya lambungnya yang sakit tapi jantungnya juga.

Rea duduk di motor kesayangannya, gadis itu mengenakan helm di kepalanya. Tiba-tiba saja ponselnya berdering. Rea menegang, jangan-jangan Angkasa yang menelepon. Rea merogoh sakunya, lalu melihat nama yang tertera. Rea mengelus dadanya, ternyata Awan. Rea hampir lupa mengabari Awan jika harus pulang.

"Halo?"

"Lo sudah pulang?"

"Di parkiran, tadi lupa bilang, maaf."

"Iya, nggak apa-apa, hati-hati. Nanti malem gue ke rumah, boleh?"

"Boleh, asalkan ada susu milonya. Haha..."

"Oke siap."

Tutt.

Awan memutuskan sambungan teleponnya. Kesannya kayak cowok posesif yang harus kasih kabar tiap jam. Tapi, bagi Rea kakak kelasnya satu itu sangat baik. Tidak mungkin Rea menolak apa yang dimintanya, lagipula memberi kabar padanya tidak terlalu sulit dan yang pasti Rea akan lebih aman.

Rea menyalakan motornya dan siap-siap melaju. Namun, saat Rea mengangkat kepalanya menghadap depan. Rea tersentak, sejak kapan cowok ini berdiri di depan motornya? Angkasa, cowok ini kenapa sih? Bukan apa-apa, Rea, kan, jadi gugup.

"Kenapa duluan?"

"Anu... Anu... Nyokap sudah nunggu."

"Sampai ngilang dari hadapan gue? Lo nggak berniat buat ngehindar, kan?"

Rea menjadi salah tingkah. "Ya... Ya, nggak lah, haha... Kenapa gue harus menghindar dari lo. Lo nggak bau ketek kok." Rea tersenyum gugup.

"Kenapa gugup?"
"Apaan, sih, sudah minggir gue mau pulang."

Angkasa masih enggan bergerak dari posisinya. Melihat gelagat Rea yang seperti ini, Angkasa yakin ada yang gadis itu sembunyikan. Tapi apa? Jangan bilang kalau Rea jatuh cinta padanya? Tidak, ini tidak boleh terjadi.

"Lo nggak jatuh cinta sama gue, kan?"
"Hah? Cinta? Lo ngigau? Ya nggaklah." Rea membuang wajahnya kearah lain. Kenapa juga tiba-tiba Angkasa menodongkan pertanyaan seperti itu pada Rea. Apa cowok itu tidak tahu, bahwa sekarang jantungnya mendesak ingin keluar.

Angkasa memincingkan matanya. "Bener?"
"Iyalah."
"Iya, sudah kalau gitu. Gue...." triinggg
Suara dering ponsel Angkasa berbunyi. Dengan cepat dia menjauh dan mengangkat teleponnya.

Rea memerhatikan wajah Angkasa yang nampak serius berbicara dengan lawan bicaranya. Tapi siapa? Ya sudahlah, lebih baik Rea kabur sebelum Angkasa memberikan pertanyaan aneh.

Rea melajukan motornya, sesekali ia melihat dari kaca spion apakah Angkasa akan memanggilnya. Tapi, nyata tidak. Angkasa tidak memanggilnya. Itu artinya Rea tidak penting.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba motor Rea mendadak mogok. Rea turun dari motornya, memeriksa apa yang rusak.

"Lo kenapa lagi sih, dede upy?"

Rea bolak balik melihat motor kesayangannya.

"Butuh bantuan?"

Rea mengadahkan pandangannya. Matanya terbelalak meliat orang yang sudah pasti ia kenal. Lagi-lagi pertemuan tidak sengaja dengan cowok bervespa biru ini.

"Eh, iya, motor gue mogok."

Satria turun dari motornya. Cowok itu memeriksa motor Rea. Sebagai anak vespa yang kasang sering mogok, tentunya Satria sangat paham dengan dunia otomotif. Ditambah ia bekerja sampingan di bengkel tidak jauh dari rumahnya.

Kisah Dalam Senja (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang