jingga 14

5 0 0
                                    

Baru sehari menginjakan kaki di sekolah, keesokan harinya Rea tidak masuk lagi. Suhu tubuhnya mendadak tinggi, mungkin karena syok terhadap pengakuan Angkasa kemarin.

Sejak kemarin, setelah Rea izin pulang sebelum bel berbunyi, ponselnya terus saja berdering. Rea tahu siapa yang menelponnya, tidak lain adalah Angkasa. Cowok itu terlihat sangat khawatir melihat sikap Rea yang tiba-tiba minta izin pulang. Rea sebenarnya tidak ingin seperti ini, tapi logikanya sangat bertentangan dengan hati nuraninya.

Pukul tiga sore, Rea masih saja di atas kasur dengan selimut tebal melingkupi tubuhnya. Suhu tubuhnya sudah turun, tapi rasa lemas di badannya masih melingkupi. Tiba-tiba, Rea kepikiran Angkasa. Sejak kejadian kemarin, otaknya dipenuhi Angkasa. Jujur saja, Rea memang menyukai Angkasa atau mungkin sekarang sudah lebih. Tapi, Rea tidak mungkin bisa bersama Angkasa dan melihat mantan pacarnya terluka.

"Rea?"
"Iya, Bun, masuk saja."

Pintu terbuka. Bukan bunda Rea yang masuk tapi dua orang yang sangat dekat dengannya. Awan dan Nti, mungkin dengan berbagi hati Rea akan sedikit tenang.

"Re, lo nggak apa-apa?"

Rea memeluk Nti yang baru saja duduk di pinggiran tempat tidurnya. Air matanya mengalir entah apa penyebabnya. Rea hanya ingin menangis. Nti hanya bisa saling tatap dengan Awan, sedangkan Awan mengelus rambut Rea.

"Lo kenapa?"
"Angkasa, Nti."
"Kenapa lagi cowok itu? Dia nyakitin lo lagi? Biar gue hajar."
"Nggak, Nti."
"Terus?" Nti menjauhkan bahu Rea, ia menatap serius wajah Rea yang masih menunduk.

"Dia putus."
"Putus? Bagus dong, cowok kayak gitu emang perlu diputusin."
"Nti." Rea menatap Nti penuh hampa.

Awan mengambil alih pecakapan Nti. Awan yakin, Rea jatuh sakit bukan karena penyakitnya, tapi karena pikirannya terusik akan kejadian yang dialami Rea kemarin.
Nti berdiri dan mempersilahkan Awan duduk di hadapan Rea. Awan menyelipkan rambut di telinga Rea. Tangan Awan menangkup wajah Rea agar bisa sejajar dengan wajahnya.

"Apa yang mengusik pikiran lo, Re?"
"Gue... Gue jadi perusak hubungan orang, kan?"
"Kata siapa?"
"Kak, Angkasa putus sama pacarnya. Pasti alesannya karena hadirnya gue dihubungan mereka. Gue nggak apa-apa mundur, lagipula hati gue masih terluka. Jadi, nggak masalah kalau tergores lagi."

Awan menarik tubuh Rea ke dalam pelukannya. "Lo nggak salah, Re. Kalau benar mereka putus, bukan berarti salah lo. Mungkin emang mereka ada masalah lain. Selagi lo nggak minta Angkasa buat mutusin pacarnya, itu artinya bukan salah lo."

"Kak?"

"Kak Awan benar, Re. Jangan nyalahin diri lo sendiri, kalau lo nggak pernah minta Angkasa buat ninggalin pacarnya berarti bukan salah lo. Lo bukan perusak hubungan orang, Re."

"Re, gue tahu, rasa suka yang selama ini lo bilang sudah naik level jadi sayang, kan? Nggak masalah, Re, lo boleh perjuangin rasa sayang lo. Kasih Angkasa kesempatan, setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua. Buka hati lo, biarkan orang yang sudah Tuhan kirimkan nyembuhin luka lo."

Rea hanya diam sambil mencerna setiap kata yang diucapkan oleh dua sahabatnya ini. Tuhan memang baik, mempertemukannya dengan dua manusia yang sangat luar biasa. Nti manusia tanpa kepalsuan dan Awan manusia penuh kesabaran serta kasih sayang.

-RMW-

Rea sengaja pergi sekolah agak siangan, bukan tanpa alasan. Rea hanya ingin menghindari pertanyaan Angkasa jika waktunya terlalu banyak. Kalau begini, Angkasa hanya punya waktu dikit atau mungkin tidak sempat karena kebutu bel berbunyi. Rea masih bimbang, hatinya masih berdenyut disisi lain ada rasa kelegaan. Sepanjang malam Rea memikirkan apakah perasaannya sudah naik level? Kalau tidak, kenapa juga Rea sampai begini terhadap Angkasa?

Kisah Dalam Senja (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang