Setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Rea selalu saja memikirkan Angkasa, entah kenapa jantungnya berpacu lebih keras tatkala mengingat kejadian manis itu. Seolah rasa sakit yang dia alami sedikit tertutupi. Kalau dia berasama Awan, Rea tidak pernah merasakan seperti ini. Meskipun Rea sering sekali menggoda Awan, tapi Rea tidak merasakan debaran seperti saat dia bersama Angkasa. Apakah ini cinta lagi? Tapi tidak mungkin secepat ini.
Pukul sudah menunjukkan jam enam pagi. Setelah terbangun tengah malam, Rea tidak bisa tidur lagi. Kebiasaan sulit tidur sudah lama dia alami, pilihan yang tepat adalah membaca novel hingga pagi.
"Hari ini gue ngapain, ya?" Rea bangun dari tempat tidurnya. Sedikit merapikan kasur, Rea berjalan menuju kaca.
"MasyaAllah, Sungguh indah ciptaan-Mu. Imut dan menggemaskan." Rea terkekeh melihat pantulan wajahnya dari kaca.Rea menyisir rambut panjangnya. Sesekali ia berdecak kagum melihat wajahnya sendiri. 'Kalau bukan kita yang muji siapa lagi?'. Itulah kalimat yang selalu Rea ucapkan.
"Masih cantik. Nggak jadi mandilah."
Rea tersenyum lalu keluar kamar.Rea duduk di meja makan. Di sana sudah ada bunda, ayah, dan adik laki-lakinya. Keluarga yang sederhana tapi kaya akan kasih sayang. Orang bilang kebahagiaan itu dilihat dari berapa mobilnya, rumahnya sebesar apa. Tapi bagi Rea cukup dengan berkumpul seperti ini adalah kebahagiaan tanpa harus diukur dengan materi.
"Belum mandi, sayang?" suara lembut itu daru sang bunda.
Rea tersenyum. "Masih cantik, Bun."
"Mau muntah gue." Reino mendelik tidak suka.
"Rei, kok sama kakaknya gue-lo, nggak sopan."
"Iya, Rei emang nggak sopan, ayah." Rea merasa menang karena dibela sang ayah.
Rei hanya menatap sinis kakaknya. Di sini kan dia anak bungsu, tapi selalu saja Rea yang dibela. Walau bagaimana pun Rei tidak pernah cemburu dengan Rea. Apalagi Rea harus mendapatkan perhatian lebih. Rei menyayangi kakaknya, ya, pertengkaran adik kakak itu wajar-wajar saja.
"Bunda- ayah, Rei mau ke KI, boleh?"
"Bol--"
"IKUT... Uhuk- uhuk," ucap Rea sampai tersedak.
"Rea, pelan- pelan, nak." Bunda memberikan air minum kepada Rea.
"Alay banget sih, kak." Rei marah. Tidak, sebenarnya Rei khawatir. "Kalau kakak ceroboh aku males."
"Maaf, tapi ikut."
Rei hanya mengangguk. Rea lebih terlihat seperti adiknya, ceroboh, cengeng, manja. Tapi, Rea kadang- kadang dewasa. Hanya kadang- kadang. Ditambah tubuh Rea yang kecil dan pendek, masih pas jika harus memakai seragam SMP. Sedangkan Reino, meski baru kelas tiga SMP tapi tubuhnya sudah mencapai 168 cm. Mungkin, di kelasnya, dia sendiri yang memiliki tubuh setinggi itu. Rea dan Rei satu pabrik, tapi mengapa gennya hanya didapatkan oleh Rei.
KI atau biasa disebut Kambang Iwak bagi masyarakat kota Palembang. Tempat ini, bisa dijadikan berkumpulnya masyarakat palembang di pagi minggu, untuk lari pagi, senam pagi, mencari kuliner, pernak- pernik dan masih banyak lagi. Kalau di Jakarta mungkin lebih mirip kayak car free day, ya sejenis itulah.
Rea sangat senang bila diajak kesini, biar bisa jajan sepuasnya. Ya, meskipun ada beberapa makanan yang tidak boleh ia konsumsi. Tapi, kalau sedikit bolehlah.Rea mengandeng tangan Rei, seperti layaknya sepasang kekasih. Tidak heran kalau orang lain melihat mereka pasti akan dikira pacaran atau lebih tepatnya, jodoh soalnya mukanya mirip.
"Rei, beli sosis, ya?"
Rei menatap tajam. "Nanti perut lo sakit, gue yang dimarahin bunda."
"Nggak, dikit aja gue makan." Rea selalu mengeluarkan jurus memelas. Mau tidak mau, Rei selalu menuruti ucapan kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Dalam Senja (Proses Penerbitan)
Novela JuvenilReanya Jingga Larasati, memiliki kenangan pahit bersama nama tengahnya membuat Rea membenci setiap kali orang-orang memanggilnya Jingga. Merasakan cinta pertama sekaligus luka pertama membuat Rea berubah 180 derajat. Gadis pendiam yang kini menjelma...