Chapter 4

11.4K 799 23
                                    

"Kalau masih bisa senyum kenapa harus bersedih? Toh, sejatinya luka butuh obat, bukan untuk ajang pameran."

                                           
***
  
      

Kayla sudah siap dengan seragam batiknya, dengan ransel biru yang menggantung di punggung. Wajahnya tampak muram gara-gara satu pesan dari seseorang yang berhasil membuat tidurnya tidak nyenyak. Apa benar dia akan datang? Setelah berhasil membuat Kayla kehilangan jati diri, untuk apa?

Gadis itu menggeleng. Bukan saatnya memikirkan hal itu. Kayla sudah siap untuk menyantap nasi goreng buatan Bi Ijah. Namun, gerakan terhenti begitu menyadari bukan hanya dirinya yang berada di meja makan tersebut.
    
Kayla mengangkat kepala. Seketika gigi gerahamnya bergeletuk menahan emosi.
  
"Selamat pagi, Lala Say—"
   
"Untuk apa Anda datang kemari?" potong Kayla dengan nada datarnya.
   
"Lala, Ayah rindu—"
   
"Omong kosong. Nggak ada gunanya Anda merindukan saya. Karena saya nggak akan peduli," tandas Kayla begitu ketus.
  
"Ayah mohon, Lala. Maafkan kesalahan Ayah," ucap Nugroho lirih.
   
Kayla menatap sinis ke arah Nugroho. "Jangan pernah menyebut diri Anda sebagai ayah. Karena seorang ayah tidak akan pernah meninggalkan seorang istri dan anaknya demi wanita lain."
    
Seketika hati Nugroho mencelos. Tubuhnya mematung. Dia menatap Kayla dengan sendu. Kayla benar, apakah dia masih pantas disebut sebagai seorang ayah?
   
"Lala, Ayah bisa jelaskan, Nak," ucap Nugroho penuh harap.
   
"Jelaskan apa? Jelaskan bahwa Anda bukan seorang ayah yang baik? Ayah yang tidak punya hati dengan menelantarkan istri dan anaknya demi seorang wanita murahan—"
        
Plak!  
   
Kayla menyentuh pipinya yang terasa panas. Namun, tidak sepanas hatinya saat ini.
   
"JAGA UCAPANMU, LALA! BEGINIKAH CARA SARAH MENDIDIKMU?!" bentak Nugroho dengan berapi-api.
    
Kedua mata Kayla mulai berkaca-kaca. Dia berdecih tak suka. "Bukan Bunda. Bunda nggak pernah mengajarkan Lala berbicara seperti ini. Tapi Ayah, Ayah yang buat Lala seperti ini. Lala benci Ayah, Ayah egois!"
   
Bi Ijah terkejut saat mendengar kegaduhan di ruang makan. Tanpa berpikir panjang, Bi Ijah segera berlari dan merengkuh putri dari majikannya yang saat ini tengah menangis.
   
"Bibi... suruh dia pergi."
    
Nugroho menatap telapak tangan kanannya. Tangan yang berhasil membuat putrinya semakin membencinya. Sekali lagi, dia menyakiti Kayla.
   
"Lala, A-Ayah—"
   
Nugroho hendak menyentuh pipi Kayla, tetapi segera ditepis oleh gadis tersebut.
    
"Bibi... Lala takut, Ayah jahat," racau Kayla.
   
Hati Nugroho seakan teriris mendengar anaknya sendiri takut padanya.
  
"Maaf Tuan, saya mohon. Sebaiknya Anda pergi dari sini. Beri Non Lala waktu," pinta Bi Ijah dengan hati-hati. Bagaimanapun, dia hanya seorang pembantu di sini.
    
Nugroho mengangguk pasrah. "Maafkan Ayah, Sayang. Ayah akan pergi, assalamualaikum."
    
Ingin sekali rasanya Nugroho memeluk putrinya sekali saja. Akan tetapi, melihat ekspresi Kayla yang enggan menatapnya membuatnya urung.
     
"Non Lala nggak apa-apa? Pipinya masih sakit?" tanya Bi Ijah penuh perhatian.
    
Kayla menggeleng. Kayla melepas pelukannya pada Bi Ijah dan beranjak ke toilet di samping dapur untuk membasuh mukanya yang terasa lengket sehabis menangis. Kayla memperhatikan pantulan wajahnya di depan cermin. Lagi-lagi matanya sembab. Entah alasan apalagi yang akan dia berikan pada kedua sahabatnya. Ditambah bekas tamparan itu sangat jelas terlihat. Sedikit memar malah.
    
Sebelum pergi ke sekolah, Kayla menyempatkan diri masuk ke kamarnya terlebih dahulu untuk mengambil masker guna menutupi pipinya.
    
"Ayo, Pak. Berangkat," seru Kayla membuyarkan lamunan Pak Pur yang baru saja selesai mengelap kaca mobil.
   
"Eh, Non Lala ngagetin Bapak aja," ucap Pak Pur sedikit terkejut.
     
Kayla tersenyum getir memandangi dedaunan di sepanjang jalan yang berserakan akibat tertiup angin. Di penghujung bulan Oktober ini Kayla bersyukur bisa menikmati saat dedaunan kuning pada pohon-pohon mulai berganti warna.
       
Penampilan Kayla hari ini membuat beberapa pasang mata menatapnya aneh. Tak jarang beberapa dari mereka menanyainya langsung yang dibalas Kayla dengan alasan yang sama, 'lagi batuk.'
      
Lama-lama Kayla jadi risih ditatap seperti itu. Akhirnya, Kayla semakin mempercepat jalannya menuju kelas.
    
Kayla mengembuskan napasnya lega setelah mendaratkan bokongnya di bangku nomor dua.
      
"Lo kenapa Kay, kok pakai masker gitu?" tanya Karin yang duduk di belakangnya.
   
"Oh, ini Rin, aku lagi flu. Daripada kalian tertular, lebih baik aku pakai masker," alibi Kayla.
   
"Oooh ... gitu, get well soon, ya," seru Karin dengan senyum tulusnya.
  
"Iya, terima kasih." Setelah mengucap itu, Kayla segera menelungkupkan wajahnya menghadap ke tembok.
       
Tak lama kemudian, Tyas, Elsa, Febi dan Diana masuk ke dalam kelas.
  
"Guys, itu di depan kayaknya ramai banget ngomongin apaan, sih?" tanya Karin pada mereka.
    
"Katanya sih ada murid baru gitu, dari Jerman," jawab Febi.
    
"Widih, Jerman? Nggak salah tuh?" sahut Erik yang baru masuk bersama Adit.
      
Diana ikut menimpali. "Rumornya sih gitu."
   
"By the way, cowok apa cewek?" tanya Karin.
   
"Nah itu dia yang bikin kita penasaran. Anak-anak lain juga pada nggak tahu," ucap Tyas.
    
"Udah dulu ngobrolnya. Duduk di bangkunya masing-masing. Bu Novi lagi otw." Suara Ricky menginterupsi.
   
Seketika semuanya langsung berhamburan ke bangkunya masing-masing.
   
Tyas yang hendak mendudukkan bokongnya di samping Kayla mengernyit. Tumben sekali pagi-pagi begini Kayla tidur. Baru saja akan membuka mulutnya, tiba-tiba Bu Novi muncul dari ambang pintu bersama seorang murid baru.
    
"Assalamualaikum, anak-anak."
   
"Waalaikumussalam, Bu...," seru seisi kelas dengan serempak.
     
"Seperti yang kalian lihat, Ibu membawa teman baru untuk kalian. Silakan perkenalkan diri kamu," ucap Bu Novi menoleh ke arah murid baru itu.
    
"Selamat pagi, semuanya. Perkenalkan, nama saya Reynald Audy Emerald. Saya pindahan dari Jerman. Senang berkenalan dengan kalian," ucap murid baru itu.
    
Omg! Gans banget.
     
Asik punya temen bule.
    
Gilaa keren banget.
   
Hidungnya mancung.
    
Bola matanya biru.
    
Gantengan juga gue.

Bahasa Indonesianya fasih, ya.
    
Dan masih banyak lagi bisikan-bisikan lainnya.
   
Sedangkan Kayla masih bergeming di tempatnya. Bahkan, sudah berulang kali Tyas membangunkannya, namun Kayla hanya menggumam tak jelas.
  
"Kay, seriusan bangun dulu. Kasih kesan yang baik kek sama teman baru kita," bisik Tyas sambil mengguncang tubuh Kayla.
    
"Apa sih, Yas? Kepala Kayla pusing," keluh Kayla dengan suara seraknya. Terlihat jelas wajah pucatnya yang sebagian tertutupi masker.
   
"Astaga, Kay, muka lo pucet banget. Ini juga ngapain pakai masker?" pekik Tyas tertahan.
     
"Bu, Kayla sakit," ucap Tyas cukup keras. Hal itu mengundang perhatian semua temannya termasuk si anak baru itu.
    
Kayla?
    
Lala, apa itu kamu? gumam Rey dalam hati sambil meneliti wajah Kayla. Sulit memang, karena Kayla menutup sebagian wajahnya dengan masker.
    
"Ya ampun, ya sudah bawa ke UKS aja. Elsa, bantu Tyas, ya," ucap Bu Novi.
     
Tyas dan Elsa pun segera memapah Kayla menuju UKS. Kayla merasa kepalanya semakin pusing.
    
"Kay, masih kuat?" tanya Tyas yang hanya dibalas anggukan kepala Kayla.
   
Namun, baru beberapa langkah berjalan, Kayla langsung terjatuh tak sadarkan diri. Rey yang memang masih di depan pun dengan sigap menahannya.
    
"Biar saya aja." Tanpa menunggu balasan Tyas dan Elsa, Rey segera menggendong Kayla dan membawanya ke UKS.
    
Suasana kelas menjadi tidak kondusif. Banyak yang mempertanyakan ada apa dengan Kayla. Biasanya, gadis itu selalu tampil paling ceria. Yang mereka tahu, Kayla tidak pernah satu kalipun pingsan. Malah terkadang Kayla sering bertanya seperti apa rasanya pingsan. Dan sekarang gadis itu bisa merasakannya.
     
Rey melangkahkan kakinya lebar-bebar agar cepat sampai di UKS. Untung saja sebelum masuk kelas dia sempat mengelilingi sekolah ini. Jadi, Rey masih hafal letak UKS-nya. Raut wajahnya memancarkan kekhawatiran yang begitu mendalam. Saat pertama menggendongnya tadi, Rey sudah bisa menebak bahwa gadis ini memanglah Lala-nya.
      
Rangga yang sedang mengobrol dengan Bu Nina—penjaga UKS, mengernyit bingung saat melihat seorang cowok tengah menggendong seorang siswi yang tak sadarkan diri. Penjaga UKS pun dengan sigap membantunya.
    
Rangga melirik siswi yang sedang dibaringkan ke kasur yang hanya cukup untuk satu orang saja. Rasa-rasanya, Rangga tidak asing dengan gadis itu.
   
"Siapa dia?" tanya Rangga yang ditujukan pada Rey.
   
"Kayla," ucap Rey singkat.
    
Sebenarnya Rangga terkejut. Namun, dia tidak ingin menunjukkannya pada orang lain.
    
"Sebaiknya lo kembali ke kelas. Biar gue yang jagain dia. Lo anak baru, kan?" ucap Rangga.
    
"Tapi—"
    
"Lo anak baru, kasih kesan yang baik di hari pertama lo masuk."
     
Rey mencibir dalam hati. Kesan yang baik? Sudah jelas dia membantu Kayla. Apakah itu perbuatan yang tidak baik? Aneh. Tak ingin membuat masalah, Rey pun pergi begitu saja setelah menyempatkan diri mengusap kepala Kayla.
       
"Ibu titip Kayla, ya. Ibu mau beli teh hangat dulu di kantin," ucap Bu Nina.
   
"Baik, Bu."
      
Sepeninggal Bu Nina pergi, Rangga melangkahkan kakinya lebih dekat ke Kayla. Masker itu telah terlepas, menampilkan luka memar yang sangat terlihat jelas. Seperti... bekas tamparan?
     
Rangga memerhatikan wajah Kayla yang terlihat damai. Wajahnya sangat pucat dengan bibirnya yang kering.
     
"Dasar lemah. Biasanya juga banyak gaya ni bocil," batin Rangga.

   
    
      
      
     
     
     
     
        
         
              
       

Still You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang