Jadi, kapan pertama kalinya kamu merasakan hatimu patah?
Aku bertanya pada diriku sendiri.
Kalian tahu, aku memiliki komitmen tidak ingin terlarut menggenggam masa lalu untuk tetap bisa berjalan maju. Jadi aku merasa meskipun hatiku patah kemarin aku masih memiliki harapan di depanku.
Tapi, bagaimana jika harapan yang bahkan belum tersentuh sama sekali namun sudah membuat ku patah kembali?
Aku tidak tahu bagaimana teori patah hati yang sebenarnya. Apakah harus memilikinya dulu lalu kehilangan baru bisa disebut patah hati? Kalau begitu bagaimana denganku? Apa ini layak disebut patah hati? Patah hati untuk sesuatu yang belum aku miliki? Lucu.
Sejak dua atau tiga jam yang lalu, pucuk kepalaku tidak henti berdenyut sakit, dadaku pun demikian. Semua terasa tidak nyaman. Mungkin kepanikan yang membuatku sekacau ini. Bagaimana tidak panik, Rian jatuh pinsan saat kami dalam perjalanan kembali ke apartemen selepas makan malam -euh, dan selepas bercerita tentang Gita.
Dan untuk ke sekian kalinya, seperti yang aku katakan sebelumnya, aku kembali merasakan hancur dan sesuatu di dalam dadaku terasa patah.
Aku menunggu Rian dengan gusar. Dia terbaring di atas brankar dengan selang oksigen di hidungnya, lalu alat-alat medis melekat di dadanya. Seburuk ini kah?
Dokter hanya mengatakan Rian kelelahan. Tapi aku rasa tidak sesederhana itu.
Sialnya, Rian membuatku melankolis dan cengeng. Aku merasa ingin menangis saat melihat bagaimana kondisinya. Ini lebih menakutkan daripada melihat film horror. Aku mengusap wajahku dengan kasar, sekali lagi mencari pelampiasan agar air yang sudah memaksa keluar dari pelupuk mataku segera berhenti.
"...Mas," suara serak itu reflek membuatku mengangkat kepala segera.
"Mas?" Aku terpanjat, ikut memanggilnya. Rian sudah bangun namun terlihat jelas matanya sayu.
"Saya memang kurang enak badan." Dia memberi tahuku, seperti mencoba membangun benteng untuk dirinya sendiri agar aku tidak bertanya semakin jauh tentang keadaannya.
"Iya, Dokter bilang Mas kecapekan. Banyak minum vitamin ya Mas," jawabku.
"Hehe. Iya. Mas yang bawa saya kesini?"
"Uhm." Sahutku sambil mengangguk.
"Mas boleh kok pulang dulu. Nanti juga saya boleh pulang." Apa yang dia katakan? Meninggalkannya sendiri dalam keadaan dia sedang patah hati begitu? Bagaimana jika dia memiliki rencana bunuh diri?!
Tidak. Aku tidak akan terkecoh.
"Nggak Mas. Saya disini aja nggak pa-pa,"
Rian diam beberapa detik, terlihat murung.
"Euh. Ya, saya pulang," jawabku mengalah. Aku tidak akan benar-benar pulang. Aku akan mengawasinya dari luar.
Sekarang dia tersenyum. "Terimakasih ya Mas sudah bawa saya ke rumah sakit."
"Sama-sama Mas. Kalau gitu saya pulang ya mas. Ah ya, ini nomor telfon saya, Mas bisa telfon saya kalau butuh sesuatu," ujarku sambil menaruh kartu nama milik ku di atas meja kecil dekat brankar. Iya, selama ini kami hanya bertetangga dan tidak memiliki kontak satu sama lain. Iya, seacub itulah kami berdua kemarin.
"Hehe, saya nggak butuh apa-apa Mas. Yang saya butuhkan cuma pulang," jawabnya dengan senyuman kecil.
"Kalau Mas sembuh Mas pasti bisa pulang kok." Aku balas tersenyum sambil menepuk pundaknya ringan.
"Maksud saya pulang ke orangtua saya, ke rumah saya."
"Ke Jogja?" Aku mengkonfirmasi. Rian menjawabnya dengan anggukan kepala.
![](https://img.wattpad.com/cover/181385899-288-k506733.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boy Next Door | FajRi ✔
FanfictionKetika orang asing tinggal di samping rumahmu Ketika orang asing memasuki harimu. Ketika orang asing menjadi bagian dari harimu. Ketika orang asing itu menjengkelkan karena sangat berbeda denganmu Ketika orang asing diam-diam peduli padamu Dan ketik...