Aku dan kamu menjadi terasa sangat asing. Kita seakan sudah bukan lagi terpijak pada langit yang sama. Seolah waktu memaksaku untuk merelakanmu pergi.
Sudah tak ada lagi obrolan tentang senja yang dengan sesuka hatinya datang memaparkan keindahan yang tidak ada bandingannya—hanya sebentar—kemudian pergi meninggalkan keterpanaan pada binar mata yang terlihat sangat jelas.
Atau hal-hal sederhana yang berkaitan dengan hujan, seperti; perpaduan antara mie kuah, telur, dan cabai rawit yang berhasil menggugah selera—menyantapnya dengan nikmat sembari ditemani oleh suara menenangkan dari percikan hujan serta aroma menyenangkan dari petrikor.
Juga bagaimana rasanya kepala akan meledak ketika dihadapi oleh sekumpulan rumus matematika, fisika dan kimia. Dan juga setumpuk hafalan biologi.
Semuanya telah sirna. Digantikan oleh kehampaan yang terasa sangat jelas pada kehidupanku. Tercipta lubang besar yang menganga lebar di dalam hati.
Sepi. Aku kesepian. Diriku yang terbiasa kamu temani hanya sekedar untuk bercakap ringan, sudah tidak ada lagi.
Padahal aku masih ingin lagi dan lagi, untuk bisa selalu merasa kehadiranmu yang nyata, untuk menjadi satu-satunya titik terang pada kegelapan hidupku.
Namun lagi-lagi ini urusan waktu. Waktu merenggut banyak hal berharga dariku. Dan kamu menjadi salah satu hal yang direnggutnya—untuk mencetak banyak luka dalam diriku.
Lalu aku bisa apa? Menyalahi waktu? Jelas aku tidak bisa. Kemudian apa? Menyalahi takdir? Aku juga tidak bisa. Karena memang terkadang takdir sekejam itu untuk melihat sebesar apa kekuatan para korbannya.
Namun bagaimana? Kamu kira aku masih bisa disebut kuat kalau sudah seperti ini? Tidak. Sama sekali tidak. Aku rapuh. Benar-benar rapuh.
Cahaya yang menjadi penerang kegelapan hidupku, sudah tak ada lagi, sudah hilang. Sekarang yang tersisa hanyalah gelap. Kembali gelap, seperti dulu.
Karena kamu sudah pergi.