Kamu percaya tidak? Bahwa tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Segala sesuatu terjadi untuk sebuah alasan. Meski terkadang alasan itu tidak serta merta terungkap saat itu juga. Bisa jadi memakan waktu cukup lama, bisa dalam hitungan bulan atau bahkan bertahun lamanya. Contohnya? Kita.
Kamu ingat tidak? Pertama kali kamu memperkenalkan diri, kamu bilang namamu Raka. Tidak ada yang spesial hari itu. Hari-hari masih berjalan sebagaimana mestinya. Kita mengobrol dan berbagi kisah, saling bercanda layaknya teman pada umumnya. Hingga hari terus menerus berganti dan percikan rasa itu tumbuh sendiri.
Tidak perlu lama bagimu untuk bisa mengungkapkan cinta. Tidak perlu lama pula untukku bisa menerima kehadiranmu sebagai sosok baru yang memenuhi seluruh rongga dadaku. Lagipula, aku sadar, bahwa dengan ajaibnya kamu adalah manifestasi doa-doa yang pernah aku panjatkan tiap kali menyangkut urusan sosok idaman. Konyolnya, kamu datang justru di saat aku hampir menyerah di persoalan percintaan.
Aku sudah pernah bilang, kan, kalau kamu itu keajaiban. Meski awalnya tidak mudah untuk bisa membuka setiap lapisan yang kamu pakai untuk menjadi tameng kisahmu, nyatanya hanya ada perasaan hangat dan kasih yang begitu besar untukmu setelah aku mengetahui setiap bab dalam hidupmu. Lalu akhirnya kita berdua tertawa lucu, geleng-geleng kepala dengan bagaimana cara semesta membuat kita hidup dalam paralel untuk sekian lama sebelum saling menemukan pada akhirnya.
Benar. Semua cerita itu. Semua kesamaan yang kita miliki hingga hari ini masih terus membuatku meyakini bahwa memang kamu separuhku yang sejati. Soal papamu yang kerap memperdengarkan lagu-lagu Guns N’ Roses ke telingamu sejak kecil sementara di lain sisi ada ayahku yang selalu memutar lagu Scorpion berulang-ulang supaya tidurku tenang. Lebih jauh papamu suka sekali berkendara dengan mobil jeepnya keluar kota sampai ke kaki Bromo di pulau Jawa, lalu ada aku di kehidupan yang lain yang sejak dulu berharap bisa bepergian berdua saja dengan orang yang kucinta menaiki mobil sendiri dengan jendela yang dibuka. Belum termasuk satu dua telepati lainnya di antara kita yang berjalan begitu kuat meski kita tak saling mampu berpeluk erat, karena jarak belum mengizinkan kita saling mendekat.
Sampai tiba-tiba kamu ternyata harus pergi. Ada yang mesti kamu selesaikan di luar sana yang aku sendiri tak tahu apa dan yang kubisa sekarang tinggal memegang janjimu saja. Sambil mengingat semua yang terjadi di antara kita, mensyukuri bahwa kamu setidaknya sempat singgah. Mensyukuri betapa kamu adalah hadiah terindah, cahaya di petangku yang gulita. Mensyukuri bahwa hanya karena dirimulah hari ini aku kembali menulis setelah bertahun kupikir aku tidak mampu lagi melakukannya.
Jujur saja, kamu terlalu rapuh untuk disebut cinta. Aku tak ingin munafik soal itu. Logikaku tahu betul bahwa seharusnya cinta tidak pergi, tapi, kamu pergi. Memang kamu berjanji untuk kembali, tapi tidak ada yang pasti. Lagipula soal cinta, sejak dulu aku masih sama saja skeptisnya. Bagiku, cinta sekedar reaksi kimia. Walaupun meski demikian aku tetap harus berbesar hati mengakui bahwa kamu menetap di suatu tempat di dalam diriku yang aku tidak mengerti apa namanya.
Aku merasa kamu selalu ada. Meski ragamu tidak di sisi, tapi rasanya kamu selalu dekat seperti nadi. Entah telah merupa apa kamu dalam tubuhku semenjak kamu pergi, mungkin kamu sudah menjadi darah atau detak jantungku yang berirama. Atau mungkin kamu sudah menjadi nafas yang setiap hari kuhela. Entahlah, kamu memang jauh tak bisa kujangkau dengan mata, namun rasanya energimu terlanjur mengakar di setiap pembuluh dan vena.
Sekali lagi harus kukatakan, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Termasuk kita. Kamu mungkin bukan cinta, Raka. Tapi dari dulu sejak perkenalan pertamamu menyebut nama di depanku, seharusnya aku tahu bahwa kamu akan senantiasa bermakna seumur hidupku. Sebab sekarang baru aku tahu, dari nama kita saja seakan semesta sudah saling setuju. Dalam bahasa sansekerta, namamu berarti bulan sedangkan namaku entah bagaimana bisa berarti matahari.
Maka, seperti Matahari dan Bulannya, kamu dan aku tidak bisa terbit bersamaan di tempat yang sama. Tidak ada Matahari yang mampu melangkahi siang demi menemui Bulan yang sudah dibawa oleh malam, pun tidak ada Bulan yang sanggup memancarkan diri di terik siang. Matahari dan Bulan hanya bisa bersama jika kehancuran dunia ini menjadi taruhannya.
Mungkin memang begini. Kita ditakdirkan untuk mencintai tapi tidak untuk saling memiliki. Setidaknya tidak di kehidupan yang ini. Karena di kehidupan yang ini, dunia terlalu kejam menamaimu sebagai Raka dan aku Adistinya. Aku harus menjadi Sang Matahari dan kamu Bulannya.