Ini jam sepuluh malam dan kita tak juga beranjak untuk pulang.
Kita masih duduk menikmati matinya hati. Berdua saling melengkapi rasa sakit yang semakin menjadi. Tak lupa pula sesekali melempar senyum tipis, rasanya napasku juga mau habis.
Kita dengan mudahnya membungkam raga, tak ada tuturan yang menari di udara, dan tentu tak ada gerak di antaranya. Kita sudah mati, matinya bersama.
Boleh saja aku dengan tidak sopannya pamit dan mendahuluimu untuk menangis sendiri dan menumpukan kepala di antara dua bantal. Bisa saja aku sekat mataku dengan kemeja merah yang kugunakan hari ini, menutupnya untuk sementara, dan menangis ria.
Namun tidak kulakukan, entah kenapa aku lebih memilih sunyi ini, menggambarkan kita benar berduka hebat hingga tak bisa berbuat apa-apa lagi. Bahwa benar ada yang mati, matinya mengenaskan, matinya seram.
Ini sudah hampir berganti pagi, dan kita masih dengan angkuhnya merasa sanggup untuk menahannya. Kau tidak juga beranjak dari posisimu, buat apa aku pergi?
Kita memang ditakdirkan begini, bertemu untuk saling membunuh diri. Kenapa kau tatap aku begitu? Kita berdua pelaku, tak ada korban dari selesainya cerita ini.
'Kan sekarang sudah pagi, aku ucapkan 'selamat pagi', berdiri, dan kemudian beranjak pergi. Kau tetap diam tak menunjukkan tanda akan pergi. Ya sudah, mungkin kau butuh waktu berduka dua atau tiga hari lagi.
Tragic Author,
Ini jam sepuluh, dan aku patah hati.