Juli : Day 1

324 33 4
                                    

Iori terlihat melangkah meninggalkan kelas menuju ruangan Yama-sensei. Hari ini ia akan mendaftarkan namanya, Rika, Souko dan juga Tamaki sebagai salah satu peserta pentas seni nanti, sekalian memberikan daftar acara yang ia susun semalaman.

"Sensei!" seru Iori setelah melihat keberadaan Yama-sensei di depan meja pendaftaran.

Yama-sensei tersenyum mendapati Iori tengah berjalan mendekat, "Ichi," sapanya ramah.

Iori tersenyum sopan dan membungkukkan tubuhnya. "Ini daftar acara kemarin, aku sudah menyusunnya."

Diterimanya gulungan beberapa lembar kertas dari tangan Iori, itu adalah susunan acara yang kemarin ia berikan pada anak didiknya tersebut.

Yama-sensei membuka gulungan kertas itu dan memeriksanya, beberapa kali ia mengangguk menanggapi hasil kerja si genius Izumi Iori. Tak salah ia menyuruh Iori yang menyusunnya, semuanya diperhitungkan begitu detail dan hasil kerja Iori memang tak pernah mengecewakan.

"Maksimal tujuh menit untuk setiap penampil, sepertinya itu memang cukup."

"Aku mencocokkannya dengan jumlah penampil tahun kemarin. Aku yakin jumlahnya tak akan berbeda jauh untuk tahun ini."

"Baiklah. Terima kasih, Ichi." seru Yama-sensei sembari menepuk pundak Iori pelan, ia sudah mendapatkan daftar acara, hanya tinggal di ketik ulang saja.

Yama-sensei hendak melangkah meninggalkan Iori yang masih berdiri disana. Ada apa dengannya? Biasanya ia akan kangsung pergi kalau tujuannya sudah selesai.

"Ada apa lagi?"

"Hmm, itu Sensei," tangan Iori bersatu, jemarinya saling bertaut. Bisa Yamato lihat kedua ibu jari Iori yang bergerak-gerak, ia cukup tahu kebiasaan anak itu, kebiasaannya ketika gugup ataupun ragu.

"Ada apa, Ichi?" Tanya Yama-sensei sekali lagi.

Iori menegakkan tubuhnya, ia melepaskan tautan jemarinya. Kenapa ia harus ragu? Bernyanyi diatas panggung dan disaksikan oleh banyak orang bukan sesuatu yang memalukan bukan? Lagi pula…. Ia tak akan sendiri, ada Rika, Souko dan Tamaki yang menemaninya.

Sorot mata Iori mulai serius, "Sensei, aku mau mendaftar jadi peserta."

Mata Yama-sensei sontak membola, ia tak salah dengar bukan? "Kau tidak berbohong?"

Alis Iori bertaut, apanya yang berbohong? Memangnya aneh kalau dia mendaftarkan diri jadi peserta pentas seni?

Melihat manik hitam Iori yang memandangnya lurus seperti itu, Yamato sadar kalau anak ini serius, "Ichi, jadi kau benar-benar serius?"

Iori tak menjawab, ia hanya mengangguk sekilas mewakili jawabannya.

"Kau ikut pensi ini karena Rika, kan?" goda Yama-sensei yang berhasil membuat Iori salah tingkah.

Yamato memang sahabat Mitsuki, kakak Iori. Makanya dia cukup tahu anak ini walaupun mereka jarang mengobrol.

"A-apa," sergah Iori, mencoba menepis kesimpulan Yama-sensei yang menurutnya telalu mengada-ada.

Yama-sensei tersenyum, menyenangkan menggoda Iori menggunakan Rika. Anak itu selalu salah tingkah, berpura-pura tak peduli tapi nyatanya sangat peduli. Dasar. "Jangan menyangkal, Ichi. Aku tahu kau tidak suka tampil di depan orang banyak."

"S-sudahlah, sensei. Aku kembali ke kelas dulu. Permisi." Iori segera berjalan cepat meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Yamato yang kini memandang punggung Iori dengan senyum geli tersemat di bibirnya.

.
.
.
.
.

Hari ini suasana kelas sangat ramai karena dua jam pelajaran terakhir di bebaskan.

"Souko, kau tau Rika di mana? Kita harus membahas untuk penampilan kita nanti kan?" Iori bertanya karena ia tidak mendapati keberadaan gadis merah berisik itu sejak ia kembali dari ruangan Yama-sensei.

"Tadi sih dia bilang mau ke kamar mandi, tapi sampai sekarang belum kembali juga. Apa Rika ketiduran di toilet ya?"

Iori menghela napas mendengar jawaban Souko. Baiklah, mungkin ada baiknya jika ia mencari gadis berambut merah itu sekarang.

"Aku akan mencarinya. Bisakah kau membangunkan Tamaki? Agar kita bisa langsung membahas pentas seni begitu kita berkumpul nanti." Pinta Iori pada Souko yang kini menganggukkan kepalanya.

"Baiklah."

.
.
.
.
.

Iori berdiri gusar di depan pintu toilet perempuan. Ia sudah mencari Rika ke mana-mana, entah itu lapangan, kantin, taman, bahkan kandang ayam mengingat gadis itu sudah menjadi relawan untuk mengurus hewan-hewan yang ada di sekolah. Entah untuk apa pihak sekolah menelihara ayam. Iori juga bingung. Apa mungkin untuk membangunkan jika ada siswa yang tertidur di jam pelajaran?

Sudahlah. Kenapa ia jadi memikirkan hal yang tidak penting seperti itu? Sekarang yang harus ia lakukan adalah menemukan gadis yang membuatnya terlihat konyol karena berdiri bak orang bodoh di depan toilet perempuan seperti ini.

"Iori-kun, apa yang kau lakukan di sana?"

Iori tersentak saat seorang siswi keluar dari dalam toilet dan bertanya padanya.

Sial. Ia jadi terlihat seperti maniak mesum sekarang. Semua ini gara-gara setan merah itu.

"A-apakah di dalam masih ada orang?" tanya Iori gugup.

"Sepertinya tidak ada. Apa kau mencari seseorang?" tanya siswi yang ternyata adalah teman sekelasnya itu. Iori mengangguk sebagai jawaban.

"Rika, ya?"

Iori mengangguk lagi. Sebenarnya ia juga bingung kenapa siswi itu bisa tau kalau orang yang dicarinya adalah Rika. Apakah di jidatnya tertulis dengan jelas bahwa ia sedang mencari setan merah itu?

"Dia di bawa ke UKS, soalnya tadi dia pingsan di toilet."  

Netra hitam Iori melebar mendengar jawaban siswi tersebut. Apa? Rika pingsan? Bagaimana bisa?

.
.
.
.
.

Souko berlari kencang diikuti Tamaki di belakangnya. Begitu Iori menelpon dan mengatakan bahwa Rika pingsan dan di bawa ke UKS, gadis bersurai putih keunguan itu segera melesat menuju tempat di mana sahabatnya itu berada.

"Aku tau kau khawatir, Sou-chan. Tapi tenangkanlah dirimu. Ri-chan itu kuat. Aku yakin dia akan baik-baik saja." Tamaki berusaha menenangkan Souko yang sudah pucat pasi karena mengkhawatirkan sahabatnya itu.

Mereka akhirnya berhenti berlari begitu tiba di depan pintu ruang kesehatan.

Souko mengulurkan tangannya untuk membuka pintu dan berjalan cepat menuju Rika yang kini tengah terbaring lemah di atas ranjang dengan Iori yang berdiri di dekat ranjang tersebut.

"Iori, bagaimana keadaannya?" tanya Souko begitu tiba di depan Iori.

Iori menghela napas, netra hitam pemuda itu memandang Rika yang masih memejamkan matanya. "Dia belum bangun sejak aku datang kesini."

Souko memandang sendu sahabatnya itu. Ia merasa bahwa ini semua adalah salahnya. Jika saja ia menemani Rika ke toilet, pasti hal ini tidak akan terjadi.

"Perawat bilang, mungkin dia lupa membawa inhealer-nya." Jelas Iori yang kini memandang Souko di sampingnya. "Apakah dia mempunyai riwayat penyakit asma?"

"Rika memang menderita sesak napas. Asamanya akan kambuh jika ia kelelahan dan melakukan aktifitas berlebihan." Jawab Souko pelan.

Iori terdiam mendengar jawaban Souko. Pemuda itu kembali mengalihkan pandangannya pada Rika yang belum menunjukkan tanda-tanda bahwa gadis itu akan segera bangun.

Iori tidak menyangka, di balik sifat Rika yang ceria dan tidak bisa diam, gadis itu menyembunyikan hal seperti ini.

High School - Izumi Iori || MHS Project [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang