Aku bangun Hesty udah nggak ada di kamarnya. Secarik kertas berwarna terselip di bawah jam weker berbentuk burung kakak tua. Sedikit memberitahu, jam weker itu kami dapat dari hadiah lempar gelang waktu kami ke pasar malam. Lebih tepatnya Irfan yang mendapatkannya, kemudian dia memberikannya pada Hesty. Aku sebenarnya berharap jam itu diberikan padaku---karena sumpah bentuknya itu lucu banget---tapi Irfan ngotot memberinya pada Hesty. Padahal Hesty nggak terlalu suka pada jam itu. Kadang-kadang, ada saat dimana Irfan itu seperti memperhatikan Hesty. Seperti ada rasa lain yang dia simpan terlepas dari pertemanan yang kami miliki. Aku nggak berani berprangsangka yang aneh-aneh, tapi memang cara Irfan menatap Hesty kadang terlihat aneh.
Aku menarik kertas itu lantas membacanya.
Aku pergi ke pasar membeli oleh-oleh yang kubilang kemarin. Aku nggak lama kok. Maaf aku nggak buat sarapan. Selain nggak ada yang bisa dimasak di kulkas, aku juga buru-buru.
Hesty memang sempat cerita kalau dia ingin membeli oleh-oleh untuk ibu dan adik-adiknya. Dia juga akan pulang besok. Nggak terasa empat tahun kami berteman, Hesty adalah sahabat yang membuat kesepianku sedikit tertahankan selepas Nenek meninggal. Aku bisa saja pulang ke Jakarta, di sana ada Mama yang pasti bisa menghiburku. Tapi itu sama saja dengan menyerahkan diriku pada kenangan mengerikan itu lagi. Hesty sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Dia juga tinggal di Jakarta. Itu membuatku senang, berarti kami masih bisa sering bertemu. Apalagi tempatnya tinggal nggak terlalu jauh dari rumahku.
Aku mengembalikan kertas itu ke tempatnya semula. Mengusap weker lucu itu sekali kemudian berlalu dari sana. Tujuan aku ke kamar Hesty adalah untuk menghindari Yan. Aku bermaksud berlama-lama di dalam supaya nggak perlu bicara dengan laki-laki itu. Aku belum tahu kenapa dia ada di sini. Bang Ben nggak ada cerita apapun padaku, dan Mama pasti memberitahu kalau ada yang harusnya kutahu.
Jantungku hampir lepas ketika kulihat Yan masuk dari pintu depan. Dari penampilannya dia baru saja lari pagi.
Ya Tuhan, sejak kapan dia punya badan sebagus itu. Perasaan dulu---walaupun memang Yan sudah tinggi---badannya datar. Nggak seperti sekarang, kotak-kotak itu sejak kapan ada di sana. Dia memakai celana pendek dan singlet warna hitam. Badannya berkeringat, ada earphone menggantung di sebelah telinganya dan bahunya bagian kanan. Sumpah demi jam weker lucu tadi, Yan tampak panas. Entah kenapa aku jadi merasa gerah, padahal sekarang masih pagi.
Dia berdehem. Sial!! Aku kedapatan memperhatikannya layaknya anak-anak melihat permen. Kapan sih aku bisa kebal terhadap Yan? Dari dulu kayaknya aku terus yang mirip onta bodoh bila berhadapan dengan dia.
Menyembunyikan rasa maluku, aku memaksa kakiku menjauh darinya. Aku pergi ke ruang tamu, memindahkan bantal yang ada di sofa kemudian duduk di sana. Aku meraih remot TV dari meja. Jam segini nggak ada siaran yang bagus, tapi menengok layar membosankan itu jauh lebih baik ketimbang meneteskan air liur memandangi Yan. Sekarang dia pasti semakin besar kepala. Bagaimana enggak, sudah empat tahun berlalu tapi debar jantungku masih karena dia.
Tak berapa lama hidungku mencium aroma sabun dan sampo. Dari sudut mataku aku melihat Yan. Dia sudah mandi rupanya. "Kamu udah sarapan?"
Wow. Nada suaranya nggak seperti tadi malam, yang kasar dan terdengar memerintah. Kali ini suaranya memang seperti yang kuingat.
"Aku nggak biasa sarapan," kataku berbohong. Biar saja, semakin dekat aku dengannya semakin nggak selamat jantungku. Padahal kupikir aku udah baik-baik saja, ternyata dia masih punya pengaruh besar pada perasaanku. Kalau saja ada obat menghilangkan rasa cinta, berapapun harganya akan kubeli. Biar aku menabung bertahun-tahun demi mendapatkannya.
Yan berjalan mendekat, dia hendak duduk di sampingku, cepat-cepat kunaikkan kedua kakiku memanjang agar dia nggak bisa duduk. Tatapanku nggak berpindah dari layar Tv. Dia kesal? Biar saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Got You (Play Store)
RomanceSetelah merasakan sakitnya jatuh cinta, Dina memutuskan, atau lebih tepatnya memerintahkan hatinya untuk tak pernah mencintai lagi. Dia pergi menjauh, berharap ingatannya akan laki-laki penyebab kerusakan perasaannya tersebut lenyap. Dina bekerja k...