"Aku nggak bisa jawab sekarang." Piring yang tadi kuambil, kupegang di dada. "Pernyataan kamu tadi pagi terlalu tiba-tiba." Apakah itu sudah jadi alasan yang kuat untuk aku mengundur-undur waktu?
Jujur aku bahagia karena akhirnya perasaanku bersambut, nggak bertepuk sebelah tangan lagi. Tapi aku juga nggak bisa bohong, kalau ada sebagian kecil hatiku yang belum bisa menerima sepenuhnya perasaan Yan. Ada sesuatu, yang masih membuatku ragu.
Yan menipiskan jarak di antara kami hingga aku dapat mencium harum parfumnya. Tangannya terangkat seolah ingin menyentuhku, namun urung. "Kamu nggak percaya?" tanyanya dengan nada getir, iris gelapnya mencari jawaban di wajahku.
Yan berada begitu dekat denganku, aku dapat meraihnya; bahkan memeluknya. Dia telah mengatakan cinta padaku bahkan saat ini sedang menanti aku memberi tanggapan untuk kata-katanya. Lalu apa yang kutunggu?
Tidakkah harusnya aku mengiyakan saja? Membiarkannya masuk lebih dalam di kehidupanku. Membiarkannya memiliki cinta yang memang sudah tertaut padanya sejak dulu?
Ah aku dibuat bingung oleh perasaanku sendiri.
"Terus sekarang bagaimana?" tanyaku, kuletakkan piring yang kupegang tadi ke atas meja, aku bersedekap sembari memandangnya. "Tadi malam kamu mabuk---"
"Saat mengatakannya aku nggak mabuk," tukas Yan memotong kalimatku. "Aku sadar, Din."
Aku tahu dia dalam keadaan sadar saat mengucapkannya, ini hanyalah alasanku demi mengulur waktu. Entah kenapa aku belum bisa langsung menerimanya, ada yang mengganjal di dadaku.
Maya. Sosok itu yang terlintas di kepalaku seharian ini sejak Yan mengutarakan perasaannya.
"Maya bagaimana?"
Yan tertegun sebentar. "Aku nggak ada hubungan apa-apa dengan Maya."
"Kudengar dia pacarmu, bahkan kalian sudah berniat ke jenjang yang lebih serius. Maya bukannya tunanganmu?"
"Apapun dan darimana pun kamu tahu berita itu, itu nggak benar. Yang sebenarnya adalah aku nggak pacaran apalagi tunangan dengan Maya."
"Tempo hari Maya datang ke kantor dan dia keluar dari ruanganmu dengan baju dan rambut berantakan," aku terus mengejarnya, hatiku belum puas sebelum mengetahui segalanya. Mudah memulai sebuah hubungan, namun mempertahankannya sangatlah sulit. Karena itu, jika Yan dan aku akan berada dalam hubungan itu, kami perlu jujur terhadap satu sama lain. "Aku cuma tahu kenapa bisa begitu?"
Yan nggak bisa menjawab, dia termangu. Aku melemparkan sebelah tangan ke udara. "Lupakan, dan nggak usah jawab kalau kamu nggak bisa," kataku, lalu kembali mengambil piring yang menjadi tujuanku ke dapur.
"Percaya padaku, Din," Yan meraih tanganku ketika aku berjalan melewatinya. "Intinya aku dan Maya nggak ada hubungan apa-apa, itu saja yang perlu kamu percayai."
"Itu saja nggak cukup, Yan," kutarik tanganku dari genggamannya. "Kamu menyuruhku untuk percaya tapi kamu nggak jujur."
"Aku sudah jujur, aku nggak bohong."
"Tapi kamu nggak mau cerita semua." Aku mendelik tajam. "Atau kamu kemarin itu lagi bercumbu dengan Maya? Iya, kan?" Sekarang aku sudah seperti pacar yang cemburu. Ck, aku mudah sekali kesal kalau hal itu berkaitan dengan Yan.
"Bercumbu apa?"
Aku mengangkat bahu. "Kamu sudah dewasa, nggak mungkin aku harus menjelaskan apa itu bercumbu."
Yan tiba-tiba tertawa. Eh? Bisa-bisanya dia tertawa padahal di sini aku sedang menahan agar kepalaku nggak meledak.
"Kamu cemburu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Got You (Play Store)
RomansaSetelah merasakan sakitnya jatuh cinta, Dina memutuskan, atau lebih tepatnya memerintahkan hatinya untuk tak pernah mencintai lagi. Dia pergi menjauh, berharap ingatannya akan laki-laki penyebab kerusakan perasaannya tersebut lenyap. Dina bekerja k...