Part 7

16.8K 3K 428
                                    

"Bagaimana hari pertama kamu bekerja, Din?" tanya Papa di sela-sela mengunyah makanannya.

Ini yang kurindukan selama empat tahun aku jauh dari rumah, berkumpul bersama seperti sekarang. Momen makan bersama; diselingi pembicaraan santai, saling menanyakan hari masing-masing. Rasanya...tepat. Bagiku peran keluarga sangat penting. Keluarga memberi rasa aman, diperhatikan, disayang, dan dianggap ada. Aku tahu nggak semua keluarga dapat memberikan rasa itu, dan aku bersyukur memiliki Papa, Mama, dan Bang Ben yang selalu menyuguhkan keamanan, bahkan kepedulian yang tak terbatas. Mereka terkadang membuatku kesal, malah Bang Ben dulu sering membuatku menangis---dia merusak mainanku---namun dia memperbaikinya lagi. Itulah keluarga, ada rasa sayang di dalamnya, namun juga diperlukan kompromi.

"Baik, Pa." Menurutku hari ini berakhir cukup bagus, walaupun diawali dengan bencana. Aku yang terlambat, pakaian basah, dan mesti menerima baju ganti pemberian Yan, lumayan berkesan untuk hari pertama bekerja. Aku berkenalan dengan beberapa karyawan di sana saat makan siang. Kuakui penampilan mereka bergaya sekali, sangat berbeda denganku yang mengenakan setelan sederhana. Pancus berhak tujuh senti milikku nggak ada apa-apanya dibanding stileto mengkilap yang mereka pakai. Wajah yang dirias make up tebal, dengan potongan rambut yang modis, belum lagi tinggi roknya nyaris sampai paha, aku berpikir mereka akan menjalani pemotretan dan bukannya seorang karyawan.

Aku bukan menganggap mereka buruk, enggak. Aku nggak menyalahkan mereka berbusana seperti itu. Mereka tampak cantik, bahkan seksi. Aku hanya memberi penilaian sekilas. Dalam hati, sepintas lalu aku punya keinginan melakukan hal yang sama seperti mereka. Tampil menarik itu nggak dosa. Toh yang kita lakukan agar diri kita senang.

"Kamu sudah makin gemuk, Ben. Kalau bisa makanmu dikurangi," Mama menegur Bang Ben saat ingin menambah makanan ke piringnya untuk kedua kali.

"Sedikit lagi, Ma," ujar Bang Ben sembari tersenyum.

Bang Ben memang agak gendutan sekarang, pipinya saja semakin membulat. Mama menggeleng karena Bang Ben nggak mendengarkannya.

"Ngomong-ngomong," Bang Ben melirikku. "Yan bos yang baik, nggak?"

Aku berpikir sebentar, lantas mengangguk. "Lumayan," kataku. Yan sampai membelikanku baju ganti karena yang kupakai basah, itu menunjukkan dia perhatian. Masih di hari pertama aku bekerja dengannya dia sudah seperti itu. "Tapi Yan kalau marah bisa galak juga, ya." Siang tadi Yan nggak kembali ke kantor setelah pergi makan siang. Dia hanya memberiku pesan singkat berisi pekerjaan yang perlu kukerjakan. Jujur, hatiku sedikit tercubit. Tapi dengan cepat aku membuang perasaan apapun yang mengganjal di dadaku. Yan itu bos dan aku cuma karyawannya, hal seperti itu biasa dilakukan seorang atasan. Nggak menampik, bukan Yan yang nggak kembali membuatku resah, tapi seorang teman yang akan ditemuinya itu yang membuatku bertanya-tanya. Entah kenapa hatiku berkata penyebab Yan nggak kembali lagi ke kantor adalah si Maya-Maya itu.

"Kamu dimarahin Yan?" tanya Mama dengan nada penasaran yang nggak ditutup-tutupinya. Kenapa? Mama nggak nyangka Yan---yang sudah dianggap calon mantu idaman---bisa marah juga?

"Iya, Ma. Dina terlambat soalnya."

"Yan nggak salah kalau marah," sahut Papa. ''Malah Papa nggak suka kalau dia diam saja, itu akan membuat Dina nggak takut untuk terlambat lagi."

Aku cemberut, masa Papa senang aku dimarahi.

Bang Ben terkekeh. "Kamu belum pernah lihat dia marah, Din. Yang dilakukannya tadi itu belum ada apa-apanya." Sok tahu!! Emang Bang Ben ada di sana waktu Yan mengomeliku?

"Yan pernah marah sampai nggak terkendali?" Aku memajukan wajahku ke depan meja, menunggu Bang Ben melanjutkan ceritanya. Dia mengangguk. "Kapan?"

Yang membuatku kesal, Bang Ben mengangkat bahunya. "Kamu mau tahu saja! Ini rahasia dewasa, anak kecil nggak boleh tahu."

I Got You (Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang