Part 4

17.7K 2.8K 331
                                    

Ini disebut musibah yang tak terhindarkan. Mau bagaimana pun caramu berlari, sekencang apapun kamu menghindar, kalau memang sudah takdir akan terjadi, ya terjadi saja. Seperti yang kualami sekarang. Padahal sebenarnya rencanaku hampir berhasil. Hampir. Kata hampir memang seringnya menyebalkan. Hampir menang, hampir dapat, hampir benar, dan untuk kasusku; hampir berhasil move on. Kan cuma hampir, nggak benar-benar berhasil.

Serius, aku iri pada orang-orang yang gampang sekali move on. Patah hati hari ini, satu minggu kemudian sudah bisa melupakan. Bahkan sudah punya tambatan hati yang lain. Aku ingin tahu apa rahasianya.

Yan duduk di sampingku, membawa kemudi dengan santai, tatapannya fokus ke depan. Dia lebih banyak diam, eh salah ding, dari tadi dia memang diam terus sejak aku masuk ke mobil dan dia memasukkan koperku ke bagasi. Yan bisa santai, duduk manis dengan setelan rumahannya. Berbeda denganku, perasaan aku pengin sekali teriak. Bila perlu di wajahnya yang lebih sering datar itu. Aku ingin dia tahu bahwa kedatangannya telah membuat hari-hariku buruk. Padahal baru sebentar di sini.

"Naik angkutan umum nggak enak," akhirnya dia bicara, tapi dia nggak melihat ke arahku. Padahal kupikir dia bakal membisu sepanjang perjalanan. Sekarang kami masih dalam perjalanan ke rumah nenek, barang-barang Yan masih ada di sana. "Kalau ada yang lebih nyaman kenapa memilih yang berdesak-desakkan?"

Aku melipat kedua tangan di dada, sengaja memutar mata. Nyaman katanya? Nyaman dari hongkong. Yang ada aku resah dan gelisah, kesal dan marah, ck, perasaanku campur aduk setiap di dekat dia. Nyaman dari mana?

"Berhentilah terus menghindar dariku, Din," dia lagi yang bicara, tapi tetap matanya tertuju ke jalan. "Nggak cukup waktu empat tahun untuk itu?"

Dia terang-terangan membahas aku yang menjauh. Kalau sudah begini aku jadi bingung harus menjawab apa. Cara menyangkal perkataannya pun aku nggak mengerti.

Dia tahu aku sengaja pergi karena dia. Dia tahu aku menjauh karena apa. Dan sekarang dengan mudahnya dia menyuruhku agar berhenti. Obat untuk rasa sakit di hatiku belum kutemukan. Selama empat tahun ini aku mencarinya, tapi nggak berhasil. Dan setelah rasa itu 'hampir' sembuh, dia datang hingga membuat luka itu kembali. Bilang aku bodoh!

Entahlah; lebih dari sekali aku bertanya-tanya kenapa bisa aku seperti ini. Cinta terkadang membuat seseorang menjodi bodoh.

"Aku minta maaf kalau memang aku yang jadi penyebab kamu melakukan itu," katanya, kubiarkan dia bicara terus; nggak ada keinginanku untuk membalasnya. "Tapi empat tahun, Din." Akhirnya ia menoleh, menatapku sekilas. "Kamu masih membenciku?"

Andai rasa itu adalah benci, Yan!! Nggak sesulit ini yang kualami. Empat tahun memang waktu yang lama, namun ternyata waktu selama itu belum cukup menghilangkan rasa di hatiku. Pudar pun enggak. Dulu, dia pasti menyangka cinta yang kurasakan adalah cinta-cinta monyet yang dalam sekejap mudah hilang. Mungkin. Kan dia berpikir aku ini masih anak-anak, belum dewasa. Tapi dia salah.

"Aku pergi bukan karena salah kamu," akhirnya aku berujar. kamu nggak salah; kamu hanya mengatakan apa yang kamu inginkan. Aku yang salah. Aku nggak terima perasaanku kamu anggap nggak nyata. Seharusnya aku bisa melupakan apa yang kurasa terhadapmu. Tapi apa boleh buat, aku gagal melakukannya. "Nggak ada yang marah, nggak ada yang membenci atau dibenci. Aku pergi memang karena keinginanku sendiri." Ingin melenyapkan bayang-bayangmu dari kepalaku.

Yan membelokkan mobilnya memasuki halaman rumah. Ia mematikan mesinnya namun nggak langsung keluar. Kudengar dia menghela napas. "Kamu nggak seperti yang dulu lagi, Din."

Terlepas dari apa yang terjadi di antara kami, perubahan pada diri seseorang dalam jangka waktu yang cukup lama menurutku itu biasa. Seseorang akan bertambah tua, pola pikirnya berubah, sifat-sifat lamanya bisa hilang dan sifat baru muncul dibentuk oleh waktu.

I Got You (Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang