Part 6

16.1K 2.7K 246
                                    

Hari ini adalah hari pertama aku masuk kerja dan aku terlambat bangun. Padahal alarm sudah kuatur agar berbunyi jam enam pagi. Entah kenapa aku nggak mendengarnya ketika berbunyi. Kalau bukan karena Mama menggedor pintu kamarku, aku nggak akan bangun. Sepertinya kata terlambat nggak pernah jauh-jauh dariku.

Namanya juga sudah terlambat, akhirnya semua persiapan kulakukan dengan tergesa-gesa. Dan semoga hasil dari ketergesa-gesaanku nggak berakhir lebih buruk dari yang sudah terjadi. Karena biasanya hasil dari buru-buru jarang berujung baik.

Kakiku hampir tersandung meja saat berjalan terburu-buru keluar kamar. Tas dan sepatu kupegang di masing-masing tangan, lantas berlari kecil menyusuri lorong menuju ruang tamu. Bahkan rumah sudah sunyi, hanya tinggal Mama saja. Papa dan Bang Ben pasti sudah berangkat kerja.

"Lho...lho...," Mama mencegatku. ''Kamu nggak sarapan dulu?"

Sarapan adapah hal terakhir yang kuinginkan saat ini. Aku melirik jam tanganku sekilas. "Nggak sempat lagi, Ma. Dina sudah terlambat."

"Kamu sih, salah sendiri bangunnya telat. Kamu harusnya wanti-wanti biar bisa cepat bangun, bukan malah tidur seperti orang pingsan." Kenapa cerewet nggak pernah hilang dari ibu-ibu?? Apalagi yang berusia mulai tua.

Oke! Aku tahu aku salah, nggak perlu lagi menambah buruk pagiku, Mama sayang. "Dina minta kunci motor dong, Ma," aku duduk di sofa ruang tamu sambil memakai sepatu berhak tuju senti milikku. Pagi ini, di hari pertama aku masuk kerja aku memutuskan mengenakan kemeja abu muda berlengan sesiku, kupasangkan dengan rok pensil di bawah lutut warna hitam. Yang kukenakan simple sekali, khas pegawai baru. Sama-sama kami---aku dan Mama---kemarin membelinya, hadiah untuk pekerjaan baruku kata Mama.

"Kunci motornya buat apa, Din?"

Ya ampun, Mama. "Yah buat Dina pakai lah, Ma. Dina berangkat kerjanya naik motor saja."

"Kenapa?" Kening Mama berkerut saat kepalaku mendengak memandangnya. "Naik mobil Mama saja, Din."

"Lebih cepat naik motor, Ma." Aku lebih senang naik kendaraan roda dua itu ketimbang mobil. Lebih praktis dan bisa nyelip-nyelip.

''Tapi di luar agak mendung lho, Din,"

Aku memanjangkan leher melihat keluar jendela kaca, memang agak mendung sih. Tapi kalau naik mobil sudah pasti akan lebih terlambat lagi, macet di kota Jakarta rasanya nyaris nggak tertolong lagi. Semoga hujan nggak turun sebelum aku tiba di kantor.

''Nggak apa-apa, Ma. Dina naik motor saja." Setelah selesai aku memakai sepatu, aku berdiri kemudian mencium pipi Mama. ''Kunci motornya?" Tanganku kutadahkan pada Mama. "Masih di tempat biasa?"

Mama mengangguk, agak merengut karena aku ngotot naik motor. "Hati-hati, Din. Mantel hujannya jangan lupa!! Jaga-jaga kalau turun hujan."

"Iya, Mama." Lima menit kemudian aku sudah berada di jalan.  Laju motorku lumayan cepat, selain mengejar waktu yang menipis, pun karena langit semakin mendung. Aku menggerutu dalam hati, sepertinya hari ini bukan hariku.

Beberapa meter keluar dari gang komplek tempatku tinggal, jalanan cukup padat. Sabar rasanya sangat sulit dilakukan di tengah situasi yang kualami sekarang, namun aku nggak punya pilihan lain. Mengumpat pada pengemudi lain yang nggak sabaran pun hanya semakin membuat kacau. Klakson-klakson terdengar sepanjang jalan. Mungkin mereka-mereka ini sama sepertiku, sedang buru-buru karena terlambat. Melihat dari nggak sabarnya mereka, aku yakin itulah penyebabnya.

Nasib sial sepertinya memang sedang mengincar diriku. Hujan akhirnya turun. Awalnya hanya rintik-rintik kecil yang menyentuh helm-ku, kemudian mulai deras setiap detiknya. Ya Tuhan, kenapa harus sekarang?

I Got You (Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang