Part 10

18.8K 3.4K 906
                                    

Aku baru tiba di mejaku, saat kulihat Maya keluar dari ruang kerja Yan. Agak terkejut aku melihatnya, karena sekarang masih terlalu pagi untuk berkunjung. Aku melirik jam kecil di atas mejaku, jam tujuh lewat sepuluh menit. Memangnya dia nggak ada kerjaan lain?

Rambutnya agak berantakan, kancing kemejanya nggak dikancing dengan benar, dan dia pergi dengan kepala tertunduk seolah malu. Jangan paksaku untuk menelaah apa yang barusan terjadi di dalam, kalian pasti bisa menebaknya.

Apapun yang dilakukan Yan dengan Maya tadi bukan urusanku, dan nggak akan pernah jadi urusanku. Aku memukul dadaku yang tiba-tiba sesak. Aku benci diriku yang seperti ini.

Yan keluar, matanya agak membulat melihatku. Kenapa? Dia nggak mau aku tahu kalau baru saja dia bercumbu dengan pacarnya?

"Pagi, Pak." Ternyata memaksa tersenyum itu sangat sulit, ibarat menelan pil pahit tanpa air. Diminum pahit, nggak diminum penyakit nggak sembuh. Itu yang kulakukan sekarang. Aku nggak tahu bagaimana rupa dan bentuk bibirku saat ini, yang kutahu aku melengkungkannya agar membentuk senyuman. Pura-pura tegar itu bahkan lebih mengerikan lagi, tapi syukurlah aku mampu melakukannya.

Yan nggak jadi pergi, padahal sebelumnya langkah kakinya cepat-cepat, dugaanku dia akan mengejar Maya. Mereka bertengkar?

Berhentilah memikirkannya, Dina!! Aku merutuki diri sendiri.

"Pagi," Yan berdehem menormalkan suaranya yang serak. Pagi ini dia mengenakan kemeja warna toska dan celana bahan hitam, nggak ada dasi untuk hari ini tapi penampilannya tetap tampan seperti biasa. Rambutnya disisir ke belakang, wajahnya kelihatan sekali baru dicukur. Aku meringis dalam hati mengingat dia sudah jadi milik orang lain.

Yan masih sempat memperhatikan rokku, bola matanya yang hitam menilaiku dari atas ke bawah. Dia mengangguk kecil, lantas berbalik masuk ke ruangannya.

Aku menyesal menuruti permintaannya. Bibirku mencebik karena kesal. Apa yang membuatku mendengar kata-katanya untuk nggak memakai rok pendek lagi. Apa yang kudapat setelah mengiyakan isi pesannya tadi malam? Nggak ada, cuma anggukan singkat dari wajah datar yang menyebalkan itu.

Daripada bermuram durja memikirkan Yan dan pacarnya, lebih baik aku mengerjakan pekerjaanku. Sambil mengetik di komputerku, aku mengeluarkan cemilan dari laciku. Kemarin aku sengaja membawa aneka cemilan ke kantor, jaga-jaga kalau lapar atau bosan. Mama sampai heran melihat bungkusan besar yang kupisahkan untuk kubawa, untung Mama nggak memberi pertanyaan seperti biasa.

  Katanya kalau sering ngemil bisa membuat berat badan naik? Bodo amat. Berat badan naik, tinggal diet. Kalau turun, program gemuk lagi. Suka-suka lah, yang penting si Yan kampret hilang dari kepalaku, walaupun hanya sesaat.

Ada tiga keripik dengan rasa yang berbeda-beda. Ada rasa jagung bakar, keju, dengan sambalado. Aku memilih yang jagung bakar, ukurannya besar, nyaris seratus gram, perutku pasti kenyang kalau bisa menghabiskannya. Aku mencari gunting, kemarin aku meletakkannya di box tempat peralatan tulisku, tapi sekarang nggak ada di sana. Ck, aku sering lupa kalau meletakkan barang. Karena gunting nggak bisa kutemukan, aku membuka bungkus keripik dengan gigi. Aku mengunyah sembari menyelesaikan laporan yang diminta si Yan kampret.

Nggak terasa dua jam berlalu, keripik yang tadi kubuka tinggal sedikit. Aku beranjak dari kursiku mengambil minum, satu setengah gelas ludes dalam sekejab. Aku bersendawa, agak keras. Aku nggak mau repot-repot menutup mulut, kalau Yan tiba-tiba keluar dan mendengar suara sendawaku, aku nggak perduli.

Beberapa detik aku kembali ke kursi, ponselku bergetar.

Hestyana:
Gimana??

Aku memasukkan empat potong keripik sekaligus ke mulut lalu membalas pesan Hesty.

I Got You (Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang