Aku memejamkan mata, berdoa dengan serius agar Yan yang saat ini ada di depanku hanyalah mimpi. Aku nggak berani membuka mata, malunya bukan kepalang. Tadi aku tersenyum bodoh ke arahnya, itu karena kupikir aku sedang bermimpi, ternyata enggak.
Ya ampun, sekarang aku harus bagaimana??
Setelah beberapa detik, aku membuka mataku lagi. Ya ampun, apakah dosaku sudah terlalu banyak? Hingga nggak ada satupun doaku yang terkabul.
Yan masih ada, malah sekarang dia terlihat semakin santai, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana.
"Belum sadar?"
Oke, sekarang nggak ada jalan lain, mau nggak mau aku harus menghadapinya. Ingat Dina! Jangan langsung terlena karena kata-kata Yan tadi malam. Yan itu nggak terduga, bisa saja itu hanya ungkapan sambil lalunya karena nggak sadar.
"Pagi juga," ucapku sembari bangun, nada suaraku masih serak, aku menyandarkan punggungku di kepala ranjang. "Ada apa kamu masuk ke kamarku?" Aku bukan tipe perempuan yang mudah bangun pagi, Mama sampai harus teriak-teriak untuk membangunkanku. Jadi karena saat ini aku bangunnya tiba-tiba, kesadaranku pun masih terpecah-pecah. Aku harus hati-hati bicara, jangan sampai aku salah mengeluarkan kata-kata. Bisa bahaya.
Yan menggeser kakiku sedikit; lalu duduk di ujung kasurku. "Kita perlu bicara."
Aku mengangguk pelan, tapi jantungku tiba-tiba berdetak cepat, bertalu-talu seakan ingin keluar dari dadaku. Apakah yang ingin dia bicarakan ada hubungannya dengan kalimat cintanya tadi malam?
Sabar Dina! Jangan buru-buru menyimpulkan! Aku mengingatkan diriku yang mulai berharap. Berharap itu terkadang menimbulkan rasa sakit, jika yang terjadi nggak sesuai dengan yang kita bayangkan.
"Sebelum pembicaraan kita semakin jauh," Yan memandangku, matanya masih agak merah, mungkin pengaruh mabuknya belum sepenuhnya hilang. "Kamu sudah punya pacar?"
Aku mengerjap, bingung harus menjawab apa. Lagian kenapa dia harus memulai dengan pertanyaan? Aku kan belum bisa berpikir. Ditambah tatapannya sangat serius, semakin aku nggak mampu berkata-kata. Bernapas pun aku nyaris nggak sanggup. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah memandangnya.
"Diam berarti iya," Yan menyimpulkan sendiri, dan...wajahnya berubah lesu.
Dia nggak suka aku punya pacar? Dia nggak mau? Kalau benar Yan mencintaiku, hal itu normal kan?
"Memangnya kenapa kalau aku punya pacar?" tanyaku akhirnya setelah diam-diaman beberapa saat. Aku pernah membaca di salah satu blog, aku lupa nama blognya. Di sana dibilang, setiap pria punya cara berbeda dalam menyatakan perasaan sayangnya. Ada yang terang-terangan, jika cinta dia mengatakannya langsung. Yang seperti itu aku suka, jadi nggak menimbulkan salah paham. Namun ada pula yang lebih ke perbuatan, laki-laki itu akan memberitahumu bahwa dia cinta lewat tindakannya. Yang seperti ini yang seringnya membuat was-was, nggak jarang juga membuat baper. Saat kita mengira dia punya rasa, taunya enggak. Nah, aku bingung Yan ini tipe yang mana.
"Jadi benar kamu sudah punya pacar?"
"Aku yang lebih dulu bertanya, jadi harusnya kamu jawab dulu pertanyaanku baru kemudian kamu mengajukan pertanyaan." Harus begitu cara mainnya biar adil. Dia mau pertanyaannya dijawab sementara pertanyaanku diabaikan? Enak saja.
"Aku yang lebih dulu bertanya, Din. Bukan kamu. Sepertinya kamu belum benar-benar sadar."
Masa sih? "Yaudah, kamu jawab saja dulu pertanyaanku baru aku jawab pertanyaanmu." Udah kepalang malu, jadi keras kepalanya jangan kasih kendor.
"Aku perlu tahu apakah kamu udah punya pacar atau belum, Din?" Yan masih ngotot.
"Kenapa?"
"Karena....," Yan diam, namun matanya terus memandangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Got You (Play Store)
RomanceSetelah merasakan sakitnya jatuh cinta, Dina memutuskan, atau lebih tepatnya memerintahkan hatinya untuk tak pernah mencintai lagi. Dia pergi menjauh, berharap ingatannya akan laki-laki penyebab kerusakan perasaannya tersebut lenyap. Dina bekerja k...