Part 5

17.3K 2.8K 279
                                    

Hari sudah sore saat kami tiba di Jakarta, Yan membelokkan mobilnya ke jalan menuju komplek tempatku tinggal. Yan dan aku benar-benar lebih sering membisu sepanjang perjalanan; hanya ada gumaman-gumaman kecil yang keluar dari mulut kami, kalau itu bisa disebut bicara. Meski aku sadar apa yang dilakukan Yan padaku waktu aku pura-pura tidur, aku pura-pura nggak tahu. Ekspresiku kuatur sedemikian rupa agar terlihat biasa saja dengan perlakuannya tadi.

Jujur, hatiku terasa hangat saat Yan menyampirkan selimut di bahuku. Pun saat dia melepas sepatuku. Yang aku nggak tahu, kenapa dia mesti melakukannya? Selama dua hari ini yang dia lakukan hanya membuat jantungku mengembang menjadi gumpalan besar, dan tadi saat dia harus pergi hanya untuk menerima panggilan perempuan bernama Maya itu, gumpalan itu pecah begitu saja. Remah-remahnya berserakan, nggak berbentuk dan nggak bisa dikutip lagi.

Pandanganku kuarahkan keluar kaca mobil. Aku melihat rumah-rumah yang telah berubah, dari yang sebelumnya berukuran minimalis sekarang telah dibangun jadi rumah yang besar. Banyak yang seperti itu. Warna-warnanya juga banyak yang berubah. Namun nggak seperti itu dengan rumahku. Bentuk dan warnanya masih sama.

Belum aku turun dari mobil, kulihat Mama keluar, berlari kecil menuju mobil Yan, ada senyum lebar di wajahnya yang mulai menua. "Selamat datang di rumah, sayang," ia meraihku kemudian memelukku. "Nggak nyangka sekarang kamu sudah besar," katanya seolah baru kali ini bertemu denganku, padahal sepanjang empat tahun aku jauh Mama sering mengunjungiku. Malah Mama dan Papa baru beberapa waktu lalu menghadiri wisudaku. "Makin cantik lagi."

Aku lelah, fisik dan batin; namun begitu, aku berusaha melontarkan senyuman pada Mama. ''Mama kelihatan sehat."

''Sehat luar biasa, sayang. Apalagi tahu kamu hari ini pulang. Kamu nggak tahu bagaimana rasanya jauh dari satu-satunya anak perempuan, nggak enak. Mama sering kangen sama kamu, tapi susah ketemu karena kamu jauh. Makanya setiap Papa ada waktu Mama sering ajak bertemu sama kamu." Setelah berucap panjang lebar, Mama baru memperhatikan Yan. Yan membawa koperku di tangannya. Senyumnya yang tadi sudah lebar ternyata bisa lebih lebar lagi. "Makasih banyak ya Yan, kamu sudah mau mengantar Dina. Tadinya Tante dan Om sudah sempat khawatir si Dina pulang sendiri," aku memutar mata, Mama berlebihan sekali. "Tapi untung ada kamu. Ben bilang kamu mau pulang bareng sama Dina, pas dengar itu Tante senang banget, lho."

Iya, Mama senang, aku yang nggak senang.

Yan mengulum senyum. ''Sekalian, Tante. Kebetulan saya ada di sana dan waktu kembalinya ke Jakarta bersamaan."

"Eh, tapi si Dina nggak ngerepotin, kan?"

Ck, Mama apa-apaan sih? Aku masih ada di sini tapi seolah dianggap berada di tempat lain.

''Sama sekali nggak, Tante." Senyum sok baiknya masih terlukis di wajah Yan. Kelihatannya Mama suka melihat Yan, lihat saja senyumnya lebih lebar ke Yan daripada ke aku.

"Yaudah, ayo masuk dulu. Kamu pasti sudah capek berjam-jam nyetir. Kamu lapar?" Lihat?? Yang ditanya lapar atau enggak itu si Yan, bukan aku. Padahal di sini anaknya kan aku. Katanya rindu, sering kangen. Aku menggeleng kecil, memilih tetap diam. Aku berharap Yan menolak ajakan Mama, tapi kenapa saat dia benar-benar melakukannya ada rasa kesal di hatiku. Meskipun sedikit, aku merasakannya.

''Lain kali saja ya, Tante," ujar Yan menolak. "Kebetulan saya ada urusan mendadak." Urusan dengan si Maya mungkin.

"Oh," Mama tampak kecewa. "Tapi besok pagi kamu sarapan di sini, ya. Hitung-hitung ucapan terimakasih Tante. Jangan menolak, pokoknya besok kamu datang kita sarapan bareng. Ya, kamu mau kan?"

Aku melipat tangan di dada, mulai nggak sabar menunggu dia pergi. Kurasakan tatapannya padaku, Yan terlihat berpikir. Mungkin dia bingung bagaimana cara menolak undangan Mama. Apa susahnya? Tinggal bilang sudah ada janji dengan orang lain. Kan gampang.

I Got You (Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang