Part 9

16.4K 2.9K 295
                                    

"Aku nggak suka."

Ck, kenapa aku harus kepikiran kata-kata Yan itu terus?? Maksud Yan bicara seperti itu sebenarnya apa?? Tadi siang aku sudah akan menanyakan arti kata-katanya itu, tapi tiba-tiba ada orang datang. Lewat tatapannya---dengan iris segelap malamnya--- Yan menyuruhku keluar. Sampai pulang Yan nggak beranjak dari ruangannya. Makan siangnya bahkan dia pesan online sendiri. Yang membuat kepalaku semakin berputar-putar, dia memesankan untukku juga.

Siapa bilang perempuan itu makhluk yang paling susah dimengerti? Nyatanya laki-laki bisa lebih membingungkan daripada rumus matematika!! Kita harus memaksa otak memecahkan rumusnya, yang tak jarang gagal. Akhirnya kepala pusing dan membuat stres.

Satu detik Yan tampak nggak acuh, detik berikutnya dia perhatian, sejam berikutnya dia bisa jadi laki-laki paling menyebalkan sejagad raya. Maunya nggak bisa diebak. Karena bila aku coba menebak-nebak, yang ada aku jadi salah paham.

Dan ada Hengky yang aneh. Aku tahu dia coba mendekatiku, yang aku nggak tahu adalah tujuan dia melakukannya. Dia sampai menciumku, kalau menurut bang Ben itu cuma kecupan. Tapi kan sama saja.

Aku berguling-guling di kasurku sampai rambutku berantakan. Andai aku bisa mengintip ke dalam hatinya Yan, aku nggak akan seperti sekarang. Bingung sendiri, baper sendiri.

"Din?? Dina??" Terdengar suara Mama dari balik pintu kamarku.

Aku tidur telentang, kutatap langit-langit kamar lantas menjawab Mama. "Dina nggak lapar, Ma. Dina udah makan tadi." Selepas pulang kantor, aku berhenti di tukang jual nasi goreng pinggir jalan. Menghadapi Yan itu butuh tenaga ekstra, jadi aku mesti mengkonsumsi makanan banyak-banyak. Setiap bicara dengan Yan, rasanya aku seperti melakukan pekerjaan berat. Perutku cepat sekali lapar. Ujung-ujungnya berat badanku yang naik. Kan si Yan kampret.

"Bukan makan, Din. Di bawah ada teman kamu datang."

Teman? Apa Yan bisa dibilang teman? Ya ampun, Dina!! Mana mungkin Yan datang mencarimu. "Siapa, Ma?" Kami saling berteriak. Mama dari luar kamarku sedangkan aku dari dalam.

"Katanya namanya Hesty."

Aku langsung beranjak dari kasurku, sudah akan berjalan membuka pintu namun urung. "Suruh naik ke kamar Dina saja ya, Ma." Aku memang sudah menunggu-nunggu Hesty datang. Setelah aku pulang ke Jakarta dia nggak ada kabar, aku nyaris memecatnya sebagai sahabat.

"Kenapa nggak di bawah saja, Din?" Mama itu nggak pernah langsung mengiyakan apa yang kuminta, selalu saja ada pertanyaan setelah pertanyaan. Anak perempuan yang Mama punya itu cuma aku, tapi entah kenapa kami lebih sering adu mulut daripada berdamainya.

"Dina agak nggak enak badan, Ma." Jurus andalan terpaksa keluar. Ya Tuhan, ampunilah aku yang suka berbohong ini. "Suruh Hesty ke sini saja ya, Ma." Mama diam sebentar, apakah dia tahu aku sedang berbohong?

"Oh, ya sudah," seru Mama akhirnya. "Biar Hesty Mama suruh ke kamarmu."

Aku menghela napas, kemudian kembali ke kasurku yang nyaman dan harum. Nggak berapa lama pintu kamarku di ketuk lagi.

"Din?" Itu suara Hesty. "Ya ampun, Din," Hesty langsung memelukku begitu pintu kubuka. "Aku kangen banget." Pelukannya erat sekali, aku nyaris kehabisan napas.

"Oke," kataku, melepas pelukannya. "Aku nggak bisa napas, Hes."

"Hehehe," dia nyegir. "Maaf, habisnya kangen."

Keningku mengernyit memperhatikan Hesty. Dia masuk ke kamarku sementara aku masih di pintu. Kemarin rambutnya agak pirang, kenapa sekarang jadi hitam pekat. "Kamu cat rambut, ya?"

"Oh," tangannya naik memegang rambutnya yang baru. "Irfan nggak suka rambut pirang, jadi aku mencatnya ulang."

Heh? "Sejak kapan selera Irfan jadi penentu gaya rambutmu? Kalian jadian??"

I Got You (Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang