"Bagaimana rambut baruku?" Di depan meja rias kugoyang-goyangkan surai berwarna coklat milikku. Aku baru saja mengganti warnanya sore tadi. Ini adalah kali ketiga aku mengganti warna rambut di dalam sebulan terakhir.
"Bagus," kata Hesty. "Kamu kelihatan lebih muda tiga tahun." Pujian Hesty selalu jujur. Soalnya dia nggak sering memuji, jadi kalau dia bilang bagus pasti bagus.
"Makasih. Berarti salon di depan itu, yang baru buka di depan gang sana layak dijadikan salon langganan.'' Sayang lusa aku harus pulang, kalau nggak aku ingin mencoba semua perawatan yang ditawarkan yang ada diskonannya.
Tepat di depan gang tempatku tinggal ada salon baru buka. Saat melewatinya aku membaca beberapa promo yang sedang berlangsung. Kebetulan aku sudah bosan dengan warna rambutku yang sebelumnya, merah fanta yang agak mencolok. Jangan menghakimiku karena tergiur dengan promonya. Hal-hal yang berbau diskon agaknya menjadi penyakit semua perempuan. Dan ternyata aku nggak salah. Hasilnya bagus dan harganya murah. Tak selamanya harga yang murah berakhir mengecewakan. Malah yang mahal pun nggak jarang membuat kita menyesal membelinya.
"Din?" Hesty memanggilku. Hesty bukan tipe perempuan yang suka membicarakan gaya. Baik itu pakaian, rambut, dan asesoris sejenisnya. Dia mudah bosan bila membicarakan tentang itu semua. Dia memiliki penampilan biasa saja. Aku nggak bilang dia jelek, Hesty gadis yang manis. Hanya saja dia nggak seperti gadis kebanyakan, yang selalu membawa alat make up di dalam tasnya. Dan saat ini, aku tahu dia ingin mengganti topik pembicaraan.
"Apa?" Aku berbalik dengan memutar kursiku. Aku melihatnya mengikat rambut dengan karet gelang, dia beranjak dari kasurku tempatnya berbaring sejak setengah jam yang lalu.
"Kamu yakin mau pergi ke kelab?" tanyanya, dia meletakkan kedua tangan di pinggang. Dia sudah sedari tadi menceramahiku perihal aku yang ingin pergi ke kelab. Hesty itu seperti kakak bagiku selama aku kuliah di sini. Padahal usiaku lebih tua dua bulan darinya. Entah kenapa dia merasa berhak marah untuk apa yang kulakukan yang menurutnya nggak benar. Seperti sekarang ini.
Aku telah mengerahkan segala upaya, merayunya agar mau ikut denganku ke kelab, namun dia tetap menolak.
Aku berdiri, sekali lagi mengibaskan rambut baruku. ''Kamu kan tahu lusa aku udah balik ke Jakarta. Di sana aku nggak bakal bisa ke kelab lagi. Mamaku pasti terkena stroke kalau aku melakukan itu. Belum lagi bang Ben, jangan harap dia membiarkanku hidup. Kalau Papaku, mungkin akan marah. Memang marahnya nggak akan lama tapi yang namanya marah yah tetap marah. Intinya aku nggak bisa ke kelab kalau di Jakarta. Jadi aku melakukannya di sini. Hitung-hitung sebagai hari bebasku yang terakhir."
Empat tahun sudah aku meninggalkan kota tempatku lahir. Aku nggak menyesalinya. Dengan begitu aku bisa menjauh dari Yan. Tolol memang, aku akui aku ini lemah. Seharusnya aku tetap di Jakarta. Harusnya kubuktikan padanya kalau penolakan dia terhadap perasaanku nggak memengaruhiku sama-sekali. Cintaku memang ditolak---walaupun dengan halus tetap saja rasanya sakit--- tapi itu bukan akhir dari segalanya. Harusnya kubuktikan itu pada dia.
Tapi yang kulakukan adalah pergi. Sebut aku pengecut, terserah. Aku bahkan nggak pernah pulang ke Jakarta. Kalau Mama dan Papa rindu, mereka yang datang. Aku nggak pernah bertanya tentang Yan, dan syukur juga Mama dan Papa nggak sekalipun membahas soal dia. Seolah mereka tahu ada masalah di antara kami.
Hesty melemparkan tangannya ke udara. "Kamu memang keras kepala," serunya sembari menggeleng. Celana tidurnya yang kepanjangan terseret di lantai saat dia berjalan menuju pintu. "Bilang pada Irfan jangan pulang terlalu malam." Irfan yang akan menemaniku ke kelab. Awalnya aku akan mengajak Roy. Roy itu teman kampusku juga, tiga bulan terakhir dia selalu mendekatiku. Tapi Hesty nggak setuju. Dia lebih percaya pada Irfan daripada Roy. Padahal Irfan sama mesumnya juga. Aku nggak mau berdebat dengan Hesty. Dia mengancam akan menelepon bang Ben kalau aku tetap pergi dengan Roy.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Got You (Play Store)
RomanceSetelah merasakan sakitnya jatuh cinta, Dina memutuskan, atau lebih tepatnya memerintahkan hatinya untuk tak pernah mencintai lagi. Dia pergi menjauh, berharap ingatannya akan laki-laki penyebab kerusakan perasaannya tersebut lenyap. Dina bekerja k...