1. Intro Yang Nggak Flat

94 14 6
                                    

Hidup itu nggak ada yang flat. Yakin, deh. Pasti ada saja kejadian yang bikin hari lo jadi berwarna. Ya, kalau warnanya sih sesuai dengan yang lo alami. Entah itu hitam, putih, ungu, kuning sampai pink. Eh? Kok malah bahas warna, sih? Kan gue mau cerita hidup gue yang nggak pernah flat. Jadi kena--

"Woi! Sasha flat! Ke kantin, kuy."

Nah, ini doang yang flat. Gue!
Sialan tuh Revan, lagi intro juga. Kenapa coba hidup gue nggak pernah flat tapi malah gue sendiri yang flat?!

"Gue tinggal kalau lama, ya!" Kata Revan yang kayaknya sudah selesai membereskan mejanya dari sampah bekas menggambar.

"Buset, deh! Bawel banget lo. Bentar juga kelar ini. Duh, ini kenapa nggak mau masuk, sih!" Kata gue yang berusaha menjejalkan ke tas mungil cantik—kayak gue—semua buku latihan, buku PR, buku soal, buku latihan sampai buku hutang, eh, nggak, deh. Bercanda gue.

"Gue udah di pintu kelas, jangan sampai gue berubah pikiran nggak jadi traktir lo, ya, Sha. Bye!"

"Eh! Tunggu gue! Sasha mau ditraktir Anak Sultan. Revan!" Begitu urusan gue sama buku-buku tadi selesai, gue langsung lari menyusul Anak Sultan yang ternyata sudah ada di koridor sekolah.

"Jal-jalan lo cepat banget. Mana udah di koridor aja lagi, capek gila." Kata gue yang masih mengatur napas setelah lari maraton tadi. Sebagai objek yang cocok buat pegangan, tangan Revan adalah objek yang gue pakai karena masih belum bisa berdiri tegak.

Jangan kalian pikir jarak antara kelas sama koridor ini dekat, ya. Diri gue yang berotak pas-pasan ini harus terima ditaruh di kelas paling ujung yang dimiliki sekolah ini.

"Elo aja yang lelet, jalan sama lari sama aja. Anak Ayam dasar." Ledek Revan sambil terkekeh.

Memang sih ledekannya fakta. Tapi gue nggak pendek-pendek banget, kok. Serius. 157 cm itu not too short, right? Ah, tetap gue nggak mau terima. Pegangan gue di tangan Revan gue lepas kasar. Bahasa kekesalan gue sama dia.

"Cie, si Anak Ayam lagi kesal," Revan masih lanjut meledek gue. Dia itu kayak apa, ya? Kalau gue tambah kesal, dia makin semangat meledeknya.

"Gue nggak kesal! Buat apa gue kesal! Gue happy dibilang anak ayam! Gue nggak peduli lo mau bilang apa!"

Duh, mulut sama hati gue terkadang susah akur, nggak bisa diajak kerjasama. Malu sendiri jadinya.

"Ah, masa sih... Itu bibir mirip ponakannya Paman Gober, lho. Lo itu anak ayam, Sha. Bukan anak bebek." Kata Revan yang berusaha menahan tawanya yang gue tebak bakal pecah sebentar lagi.

Lihat saja, dia belum pernah kena pukul dari tangan karateka kayaknya. Sabar, Sha. Ingat, Revan masih perlu tangannya buat bawa motor pas pulang nanti dan lo nebeng sama dia. Kalau tangan dia kenapa-kenapa, lo mau pulang naik apa?

Ok, terimakasih sisi diriku yang waras. Demi nasihat tadi, gue diam. Menahan kekesalan.

"Sha, memang anak ayam itu badannya kecil. Tapi pas besarnya nggak, kok. Karena disuntik. Lo tahu kan kayak apa ayam negeri? Nah, mereka disuntik hormon biar cepat besar. Lo mau kayak begitu juga, nggak? Biar nggak flat la--"

Sumpah, demi apapun gue nggak bisa diam lagi. Teknik pukulan yang gue pelajari di tempat latihan karate, akhirnya bisa gue realisasikan ke tangan Revan.

"Aduh! Sakit dodol! Iya-iya gue berhenti. Aduh, tulang gue remuk semua, Sha." Revan mengusap-usap tangannya, beruntung tendangan gue nggak ikut keluar.

"Makan tuh sakit. Kuping gue sakit juga kayak tangan lo. Di bully mulu gue jadi teman lo, Van."

"Kasihan teman gue. Iya-iya, maaf. Habis lo lucu sih, kayak sekarang. Muka lo kayak anak ayam. Eh, anak ayam lucu tahu. Imut, bikin gemas, persis kayak muka lo, nih." Kata Revan sambil mencubit pipi gue.

"Jadi, gue lucu, imut, dan bikin gemas kayak anak ayam?" Tanya gue yang masih mikir.

Revan langsung melepas cubitan. Lalu menggaruk tengkuknya. "E-eh, maksud gue, lo itu... Ayo, ke kantin! Perut gue lapar, orang mau ke kantin juga! Dari tadi nggak sampai-sampai. Mau gue traktir nggak sih lo?!"

Lho, ini anak kenapa?

"Masih jadi ditraktirnya? Serius? Ayo! Gue juga lapar. Gue mau ayam geprek Mak Erot, ya?"

"I-iya, iya. Apa aja gue traktir, buru. Lapar gue."

"Yes! Thank you Revan ganteng." Puji gue sambil meninju pelan tangan Revan yang bikin dia yang kayaknya kok jadi salah tingkah?

"Memang." Kata Revan yang memalingkan wajahnya dari gue.

Ih, Revan betul salah tingkah?

"Tapi jangan banyak-banyak traktir gue, Van. Nanti gue susah bangun besok pagi kalau terlalu banyak makan enak, apalagi gratis."

"Terserah lo, Sha. Terserah." Kata Revan yang memutar matanya.

" Kata Revan yang memutar matanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continue...

Mereka teman, kok. Hihihi.
Tapi kalau kata orang-orang, "Tidak ada yang namanya kata teman di antara laki-laki dan perempuan. Pasti di antara mereka memiliki perasaan yang lebih dari teman."

Kita lihat saja ya sejauh mana pertemanan yang manis antara Revan dan Sasha. Awww, sweet.

With love and lot of idiot,

Putri NH

Life Is Never Flat (Cuma Gue Aja) #EditVersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang