2. Pagi Yang Nggak Flat

44 9 2
                                    

Drrrt, drrrt, drrrt...

"Duh... Berisik banget, sih."

Pernah merasakan diri kalian yang lagi berusaha mengumpulkan nyawa? Begitulah gue sekarang. Remaja perempuan yang dipanggil oleh remaja lainnya dengan panggilan Anak Kebo.

"Sasha! Bangun! Sudah jam 7 ini. Kamu nggak berangkat?" Teriak Mama dari lantai satu.

"Berangkat kok, Ma. Bentar lagi." Jawab gue sambil merenggangkan badan. Masih berusaha 100% untuk mendapatkan nyawa. Setelah yakin tangan gue kuat mengambil handphone di atas nakas, angka jam di lock screen yang pertama gue lihat.

"MAMPUS GUE. TELAT!"

Lompat indah dari kasur ke kamar mandi terpaksa gue pamerkan.

Tidak untuk ditiru bagi non-profesional ber-SKS (sistem kebut sejam), ya.

Seharusnya 5 menit cukup buat cuci muka, sikat gigi, dan ganti baju.

"Sisir mana sisir?! Ah, ini dia. Pakai parfum yang paling wangi. Sip, udah wangi. Nggak usah mandi, kelamaan!"

"Mama... Kenapa nggak bangunin Sasha, sih?"

Kalian nggak usah heran begitu lihat gue yang sempat-sempatnya protes di waktu yang mepet. Juga protes sambil mengubek-ubek kamar mencari barang keperluan karate yang kalau lagi dicari nggak tahu ke mana perginya... Astaga!

"Woi, Anak Kebo! Lo aja yang nggak bangun-bangun. Mama udah teriak bangunin lo dari jam 6 pagi." Sahut manusia setengah tiang listrik.

Asal nyamber omongan gue soalnya.

"Berisik lo, Bang! Bukannya bantu Mama bangunin gue. Ke kamar gue dong!"

"Gue? Ke kamar lo? Ogah! Nanti gue kena tendang lagi."

"Lebay banget, Bang. Orang lagi tidur mana sadar kalau bisa mengeluarkan jurus tendangan maut. Lagian, sakit memangnya?" Tanya gue pura-pura bego. Lumayan, hiburan di kala mepet.

Oh, iya, kejadian yang dimaksud Abang gue itu sudah seminggu yang lalu, tapi rasa sakit kayaknya masih membekas di wajah Satria, Abang gue. Kasihan.

"He, Anak Kebo, lo kata nggak sakit kena tendang di muka?! Lo di karate itu sabuk cokelat. Sakit, woi!"

Omelan Bang Satria nggak gue gubris. Gue terlalu sibuk mengabsen dan memasukkan barang-barang ke sport bag.

Skipping rope, gum shield, kaos, handuk dan terakhir celana olahraga. Lengkap.

"SASHA! Kalau turun dari tangga jangan lari-lari. Kalau jatuh gimana?" Kata Mama dari dapur.

"Jatuh ya jatuh, Ma. Masa terbang. Eh, bercanda, Ma. Ampun. Jangan dijewer. Sasha udah terbiasa tahu sprint di tangga. Kemungkinan jatuh itu kecil." Jawab gue yang ke dapur buat cium pipi Mama tapi hampir kena jewer. Untung gue menghindar dan melanjutkan rutinitas pagi.

Mencium pipi Mamaku yang kusayangi.

Lalu gue berjalan menuju sofa di ruang keluarga. Ada Bang Satria sedang duduk, "Mendingan antar gue ke lapangan, Bang. Setengah jam lagi latihannya mulai. Kalau telat, gue kena hukum sama Senpai Irwan nanti."

Senpai Irwan itu kalau kasih hukuman nggak main-main. Totalitas banget. Padahal ganteng, tapi sayang galak.

"Ih, lo dengar nggak, sih? Ayo, cepat! Main game mulu! Gue telat ini nanti, lo nggak kasihan sama adik lo satu-satunya ini? Ayolah, Bang."

"Aduh! Sakit, Sasha bego!" Bang Satria berteriak sakit karena bulu kakinya baru gue cabut. Lagian gue ajak omong malah asik sama game.

"He, lo yang bangun kesiangan kenapa gue yang mesti ribet?! Sori, gue nggak mau dan nggak bisa. Jam 8 nanti gue mau langsung berangkat ke kampus. Lo pesan ojek online aja sana."

"Ih, Bang... Gue kalau pesan ojol nggak keburu, driver-nya nggak langsung dapat. Belum lagi jalannya yang nggak bisa ngebut. Tolong dong antar gue. Satu kali ini aja."

Sebetulnya gue gengsi dan menyerempet jijik buat memelas sama manusia satu ini. Tapi karena mepet, mari simpan semua rasa itu dan mari keluarkan jurus andalan gue!

Selama 30 detik gue tahan biar mata gue nggak kedip. Begitu mata gue sudah cukup pedih, terakhir bibir gue tarik sedikit ke bawah.

Sambil melihat Bang Satria yang sedang men-scrooling HP. Gue berkata dengan mata berkaca-kaca, "Bang, gue nggak minta emas atau berlian. Gue cuma minta tolong diantar ke lapangan tempat latihan karate gue. Gue juga mintanya nggak sampai bikin lo telat datang ke kampus, kan?"

"Huh, rese lo. Ya, udah gue antar."

Yes! Hari ini gue selamat dan masih bisa lihat matahari terbit besok pagi. Tapi tunggu... Kok Bang Satria kayak orang yang lagi cari sesuatu?

Buru-buru gue menyusul Bang Satria yang beranjak dari sofa di ruang tamu ke lemari TV. "Bang, lo cari apa? Katanya mau antar gue. Ayo, udah telat ini. Buruan, Bang."

"Gue lupa kunci motor gue di mana. Ini lagi gue cari dulu, Sha." Kata Bang Satria sambil menyelipkan tanganya di belakang TV.

"Apa, Bang? Cari? Kok dicari? Kunci motor biasanya kan ada di tempat gantungan kunci." Otak gue masih berusaha mencerna arti dari kata 'Cari'.

Orang yang gue tanya malah melihat gue seolah-olah gue ini tahi ayam yang nggak sengaja dia injak. "Kalau dicari artinya hilang, Dodol. Gue lupa di mana simpan itu kunci. Mending lo bantu cari daripada bengong kayak begitu."

Bang Satria sesekali bertanya ke Mama mengenai kunci motor matic-nya itu.  "Mama nggak lihat, Bang. Coba cari di kamarmu sana. Sasha, ini sarapan sudah siap. Makan dulu, nih."

Tik, tik, tik.

Jarum jam di dinding ruang tamu terus berdetik dan menunjukkan sisa waktu hidup gue.

7:37 pagi.

Gue tarik kata-kata gue tadi kalau gue masih bisa lihat matahari besok pagi. Selamat tinggal dunia.

To be continue...

Siapa tim yang ribet dan ribut kayak Sasha?
Angkat tangan! Padahal aku juga gitu hehehe.


With love and lot of idiot,

Putri NH

Life Is Never Flat (Cuma Gue Aja) #EditVersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang