Tengah Malam.

1.5K 86 0
                                    

Lana mengerjapkan mata. Dia merasa ada kaca yang menutupi pandangannya. Kepalanya terasa berat, tertutupi sesuatu. Kakinya juga terasa sumpek, dia memakai sepatu sangat rapat dan tertutup.

Menunduk, Lana melihat sepatu bot hitam setinggi betisnya dengan jalinan tali rapat sepanjang tulang kering sampai kaki. Dia mengulurkan tangannya, telapak tangan menghadap ke atas, Lana melihat senapan laras panjang di genggaman. Lana membebaskan tangan kanannya, meraba-raba kepalanya, merasakan sesuatu yang solid, kuat melindungi tulang tengkoraknya. Helm pelindung.

Di sekeliling, karung goni berisi tanah bertumpuk-tumpuk, membentuk benteng perlindungan darurat seperti dalam medan perang. Tanah di bawah kakinya berwarna coklat, basah, dan licin. Jejak-jejak sepatu bot bertebaran di sekitar tanah, seolah segerombol pria berlari-lari mengelilingi lapangan itu.

Dor!

Dor!

Ah, sial. Pintball.

Lana baru sadar. Dia segera berlari ke benteng perlindungan terdekat, menunduk serendah mungkin agar tidak tertembak oleh lawan. Dari kanannya, Lana mendengar langkah-langkah berat yang tergesa. Seorang cowok dengan ban kuning di lengan kanannya berlari setengah menunduk ke arah Lana, senapannya juga mengarah pada Lana.

“Jangan tembak! Kita satu tim!” Lana menjatuhkan senapannya, mengangkat kedua tangan di udara.

Cowok ban kuning sedikit memperlambat larinya. Tembakannya tertahan. Dia terlihat kebingungan.

Lana memanfaatkan momentum pendek kebingungan cowok itu untuk melirik lengan kanannya. Biru.

Sial.

Dor!

Cowok ban kuning menembakkan peluru kuning. Lana menunduk secepat yang dia bisa, meraup senapannya. Keseimbangan yang buruk dan skoliosisnya yang terkutuk membuat Lana jatuh tertelungkup di lumpur tanah coklat menjijikkan. Tapi Lana tidak menyerah. Dia langsung menodongkan senapan ke laki-laki ban kuning. Cowok ban kuning itu menembak lagi, meleset. Laki-laki itu baru menembak dua kali, tapi Lana tanpa pikir panjang langsung menghujani banyak tembakan.

Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!

Dari lima tembakan itu, satu mengenai perut kanan bawah, satu di lutut kiri laki-laki ban kuning.

Yes! Yeah! Awesome! Lana bersorak dalam hati. Dia tertawa senang.

Laki-laki itu melempar senapannya ke tanah dengan sebal. Dia menoleh ke belakang. Lengannya terangkat ke udara, bergoyang-goyang ke arah Lana. Samar-samar Lana mendengar laki-laki itu “Guys, cepetan sini!”

Lana menggerutu dalam hati. Dia baru saja menjatuhkan seorang pemain, tapi sekarang empat cowok dengan ban kuning di lengan kanan mereka berlari dua kali lebih cepat dari cowok pertama, menuju kepadanya. Senjata mereka semuanya tertodong pada Lana. Dalam beberapa detik, salah satu dari peluru mereka pasti akan meluncur, kemungkinan terbesar sekaligus terburuk, Lana akan tertembak dan secara otomatis gugur.

Lana mengerang. Dia berguling ke kanan, bangkit sambil mendekap senapannya. Tubuhnya penuh lumpur licin coklat nan menjijikkan. Lana berlari ke sebuah gudang kayu, berusaha tidak terpeleset, tapi juga harus cepat agar musuh tidak dapat mengejarnya.

Lana berhasil mencapai gudang kayu itu. Dia memastikan gudang itu steril dari musuh sebelum memasukinya. Setelah yakin gudang itu steril, Lana masuk ke dalamnya, bersembunyi dengan jantung berdegup kencang. Punggungnya yang berlumuran lumpur bersandar pada dinding kayu. Lana mengintip keluar.

Di seberang, ada gudang kayu lain yang tinggi. Tangga besi berkarat tertempel rapuh di salah satu sisinya. Di ujung gudang itu, berkibar bendera kuning.

Down My SpineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang