Author's note:
Tadi pagi saya baca berita (yang disebar lewat Reddit, tapi saya bacanya di Independent, karena Reddit kena Internet Positif--meh -_-) tentang dokter ER di Inggris yang meratap setelah pasiennya yang masih berumur 19 tahun meninggal. Berita itu menyentuh humanity-sense saya, jadi mungkin episode ini juga mengandung hal sejenis. I apologize for this unnecessary spoiler, but actually I just want to hail respect for doctors all over the world who take their job and responsibility seriously. Because they save lives, real life humans.
Happy reading.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Belum pula dr. Mariana masuk mobil, Abyan sudah membuatnya masuk mobil dengan tergesa-gesa, menyetir kencang ke rumah sakit yang masih sepi. Shift-nya maju dua jam karena Lana. Abyan ketinggalan bis karena Lana. Ayah memutar balik mobilnya ke rumah sakit karena Lana. Sherly menghabiskan satu jam di telefon dengan keluarganya, sementara atasannya terus berteriak tentang deadline, karena Lana.
Dr. Mariana melongok keluar saat melewati pos satpam. "Stretcher sama tabung oksigen, pintu UGD," dia setengah berseru pada satpam yang sedang mengucek mata karena kantuk.
"Iya Dokter!" satpam itu langsung siaga, menghubungi interkom di UGD.
Dr. Mariana melirik Lana dan Abyan lewat spion belakang, sesaat sebelum mereka mencapai pintu UGD. Dr. Mariana sudah mengalami kejadian seperti ini beberapa kali dalam sejarah karirnya, yang mana kadang dia merasa seperti sedang mengemudikan ambulans. Hanya saja kali ini, level kepanikannnya meningkat. Mungkin karena yang terbaring di kursi penumpang belakang dengan darah sampai kerahnya itu Lana, mungkin karena saat itu masih terlalu pagi sehingga dia khawatir tidak ada yang siap dengan keadaan seperti ini. Beruntung dia dulu pernah ditugaskan di UGD selama tiga tahun, jadi dia tahu benar apa yang harus dilakukan.
Ketika Lana dibaringkan di stretcher, dr. Mariana tahu detak jantungnya sudah sangat lemah, dia hanya mendengar suara lirih ketika menempelkan stetoskop di dada Lana. Pendarahan di hidungnya begitu hebat, mereka harus membersihkannya sebelum meletakkan masker oksigen. Keadaan mulai terkendali ketika mereka memasukkan darah donor ke tubuh Lana, memastikan sirkulasi oksigen dan detak jantungnya mulai kembali normal.
Pada saat itu Ayah datang. Ketegangan di sekitar ruangan turut membuatnya tegang, tapi dr. Mariana menjelaskan kepadanya kalau untuk sementara ini Lana sudah terkendali. Ayah bisa menunggu di ruang dr. Ardian untuk selebihnya. Maka Ayah pun pergi ke ruang dr. Ardian, sementara dr. Mariana mengantarkan Abyan ke sekolah.
Ada noda darah di lengan dan celana bagian kanan Abyan. Dia membersihkannya dengan tisu basah sepanjang perjalanan. Tapi tak peduli seberapa keras dia berusaha, noda itu tidak bisa hilang sepenuhnya. Abyan menyerah. Kalau ada orang bertanya padanya nanti di sekolah, dia akan berkata kalau tadi dia baru saja menyelamatkan nyawa seseorang dan dia terkena darahnya.
"Tadi Lana beneran nggak kenapa-kenapa sebelum pingsan?" dr. Mariana bertanya.
"Sebenernya wajahnya agak pucat gitu, tapi aku pikir wajahnya Lana emang kayak gitu, jadi aku pikir dia nggak kenapa-kenapa. Dia juga masih bisa diajak ngobrol tadi. Sebenarnya dia sakit apa lagi selain skoliosis?"
"Jantung lemah, asma."
"Ah, yang bener? Orang dia bisa karate gitu..."
"Ya maka dari itu, dulu Mama bilang ke dia jangan ikutan yang kayak gitu lagi."
"Susah jadi orang penyakitan."
"Makanya kalau sehat bersyukur."
Untuk beberapa saat pikiran mereka pergi masing-masing. Kemudian Abyan memulai pembicaraan serius. "Ma?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Down My Spine
Teen FictionLana adalah kutu buku cupu yang mengidap skoliosis. Dia merasa dikutuk. Tapi itu sebelum dia kenal dengan anak laki-laki dokternya. *cerita ini adalah tribute untuk teman saya dan semua orang dengan skoliosis*