Dilema

887 70 3
                                    

Lana menjatuhkan--alih-alih meletakkan--ranselnya di samping kursi meja makan. Dia mengupas kulit pisang menjadi tiga dan dengan brutal menelan tiga perempat bagian pisang itu. 

Pipinya menggembung waktu mengunyah. 

Eyang meneguk teh manisnya. "Kamu nanti pulang jam berapa?" 

"Jhhamb igha," segumpal besar magnesium kuning di mulut Lana mengganggu output fonemnya. 

"Iga bakar?" 

"Bhuk--akh! Akh!" 

Maka Lana pun tersedak. Dia menjulurkan tangan kanannya untuk menuang air putih dari teko ke gelas, sementara tangan kirinya menepuk-nepuk dada. Meskipun pisang lembut dan tidak berbahaya, buah itu bisa menjadi bumerang bagi pemakannya. 

"Makanya makan pisang jangan kayak gorila," ledek Sherly yang sedang memeriksa isi kulkas. 

Lana menggelonggong satu gelas penuh air putih dalam sekali teguk, kemudian menjawab pertanyaan Eyang, "Jam tiga, tapi jam empat." 

"Kenapa jadi jam empat?"

"Mbak Sherly kalau jemput telat satu jam." 

Sherly meletakkan gelas dengan hantaman. "Aku juga punya jadwal, emang jam segitu aku pulangnya." 

Lana melengos. 

Sherly meminum susu seperti orang penuh dendam. 

"Ckckckck..." Eyang menggeleng-gelengkan kepala. "Bisa nggak, kalian nggak bertengkar? Sehari saja...." 

Di luar, terdengar kunci mobil Ayah dibuka. Lana menelan sisa pisang, kemudian melempar kulitnya ke tempat sampah. Dia menyambar ranselnya kemudian berlari keluar rumah. Lana sudah memprediksi situasi ini sejak semalam. Akan ada atmosfir buruk di rumah, terutama antara dia dan Sherly, maka Lana bersiap sejak pagi supaya bisa berangkat bersama Ayah.

"Sher, kamu jangan kayak gitu sama adikmu," kata Eyang begitu Lana menghilang. 

Sherly hanya diam, menelan kekesalannya. Sejak rapat keluarga semalam, pikirannya menjadi keruh. Dia menelefon Adrian, dengan perasaan berat mengatakan kalau pernikahan mereka harus ditunda beberapa bulan lagi, karena tabungan pernikahannya digunakan untuk operasi Lana. Adrian tidak marah, tapi Sherly bisa merasakan sunyi sejenak yang terasa seperti satu dekade sebelum Adrian menjawab, "Oh, nggak pa-pa kok. Kapan operasinya?"

Adrian adalah laki-laki yang sangat sabar. Dia menyayangi Sherly, menghormati orangtua, dan tidak egois. Tapi mereka sudah menunggu tiga tahun untuk momentum terbesar dalam hidup mereka, yang seharusnya terjadi bulan depan, tapi kini mereka haru menunggu lebih lama lagi.

Tidak biasanya Adrian terdengar ragu seperti itu. Dan itu menenggelamkan Sherly dalam dilema yang berat.

Sementara itu, di dalam mobil, selagi Ayah men-starter Panther-nya, dia mulai bicara tentang rencana operasi pada Lana. 

Lana mengalihkan pandangan ke jajaran pagar rumah tetangga dan hanya mengangguk pada setiap perkataan Ayah. 

***

Down My SpineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang