Panggilan-Panggilan yang Tak Terjawab

695 57 1
                                    

Author's Note:

By the end of this story you would probably like to call the title 'missed calls' instead of 'panggilan-panggilan yang terlewatkan'.

I know, I know.

I'm just trying to be creative an poetic.

Don't hate me.

'Missed calls' is just boring. Some phrases are better in other languages.

Anyway, 

Happy reading. 

(I wrote this note just to add the length of this part, so it looks longer. My sister complained about the length of the previous part. Haha. I'm just too clever. I have experiences. I've figured out a thousand ways to reach publisher's minimum page length requirement.)

God, why do I always put another sentences after 'happy reading'? It should be the closing signature of an author's note.

Duh.

Happy reading. Again.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

24 jam pertama Abyan di Medan benar-benar sulit. Dia pikir Alfian akan tinggal satu atau dua hari sesampainya dia di sana sebelum pindah ke rumah Mama.

Hipotesisnya salah. Salah besar, baik secara teori maupun teknis.

Seharusnya Abyan sudah memperhitungkan hal ini. Alfian akan memanfaatkan segala celah untuk melepaskan diri dari Papa. Terlepas dari status mereka secara hukum dan biologis sebagai ayah-anak, mereka membenci satu sama lain. Mereka bisa bertahan hidup di bawah satu atap tanpa membunuh satu sama lain hanya karena satu alasan: Irene.

Irene adalah ibu tiri Abyan dan Alfian. Alfian tidak membenci ibu tirinya. Malah, dia lebih cinta ibu tirinya daripada ayah kandungnya.

Padahal sejak pertama kali melihat Irene dengan sudut matanya, Abyan sudah tahu dia akan mengalami masa-masa sulit hidup satu atap dengan wanita itu.

Abyan menurunkan ranselnya yang berat. Dan kopernya yang lebih berat lagi. Dia berjalan ke tempat penjemputan. Dia mendapati Alfian sedang bicara dengan seorang Irene. Abyan mengenali wajahnya karena Alfian mengirim foto pernikahan Papa dua tahun lalu.

Langkah Abyan terhenti. Dia melongo. Menyedot ingus.

"Hei, Ab!" Alfian melambaikan tangan.

Mereka berjalan mendekat pada Abyan. Begitu juga Abyan. "Lah, Mas kok bawa koper juga?"

"Kan aku mau pindah sama Mama."

"Sekarang?"

"Kapan lagi, coba?"

"Nggak, maksudku..." Abyan mendesah. "Ah. Aku pikir Mas tinggal beberapa hari setelah aku datang." 

"Hahaha..." Alfian tertawa tanpa dosa selagi tangannya menyisir rambut klinis khas gay-nya. Ya, Alfian punya gaya rambut khas gay. Dia juga memakai skinny jeans warna krem. Dan dia memakai kemeja merah kotak-kotak. Dan gelang anyaman coklat di dekat jam tangannya. "Habis gimana lagi? Ryan pindahnya juga sekarang." 

Karena pada kenyataannya dia memang gay. 

Ryan adalah pacarnya. Ketika Ryan berkata dia akan pindah ke kota di mana Mama Alfian tinggal, mereka melihat cahaya--kesempatan untuk membuat hubungan mereka lebih baik. Saat itulah Alfian baru berani mengakui pada Papa, Irene, dr. Mariana, dan Abyan tentang seksualitasnya. 

Semua terkejut, tapi akhirnya bisa menerima kenyataan itu. Kecuali Papa.

Papa marah besar. Tapi itu bagus. Karena sekarang Alfian punya alasan yang kuat untuk meyakinkan dr. Mariana kalau dia tidak seharusnya hidup lebih lama lagi dengan Papa.

Down My SpineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang