Ketika Lana turun dari bis, dia tahu dia harus menunggu sekitar lima belas menit lagi sebelum Sherly menjemput. Lana benci menunggu, apalagi menunggu Sherly. Kenyataannya, kakaknya itu punya tiga prioritas sebelum adiknya: 1. dirinya, 2. pacarnya, 3. pekerjaannya.
Sejak kelas satu SMP, Sherly telah menjalani rutinitas sebagai pengantar-jemput Lana. Selama tiga tahun itu, Lana bisa menghitung dengan jari tangannya, berapa kali dia keluar gerbang sekolah dan langsung melihat Sherly dengan motor automatic-nya. Selebihnya, Lana harus menunggu atau pulang naik bis sendiri.
Setelah mengeluhkan keterlambatan kakaknya yang kesejuta kali selama tiga tahun terakhir, ini adalah kali pertama dia tidak mengeluh sama sekali. Lana hanya duduk di bagian bangku halte yang tidak penyok, memandangi Abyan berjalan ke rumahnya yang tidak jauh dari persimpangan, duduk di sana seperti orang bodoh.
Benar sekali. Jatuh cinta membuat orang terlihat bodoh. Lana baru tahu sekarang.
Lana sebenarnya bukan anak yang pintar di kelas. Sepanjang sejarah persekolahan, Lana tidak pernah keluar dari tujuh peringkat terbawah kelas, dua puluh peringkat terbawah paralel. Tapi Lana tidak pernah keberatan dengan kebodohan yang sering menjadi sasaran empuk ejekan Sherly. Nyatanya, Lana tidak pernah merasa sebodoh itu. Hidupnya bahagia tanpa memikirkan tuntutan akademik dan predikat orang lain.
Sekarang dia merasa bodoh, tapi jauh lebih bahagia dari biasanya.
Lana memandangi gantungan kunci kawat tembaga berbentuk bunga matahari yang tergantung di risleting ranselnya.
Makasih ya, Fel. Kamu selalu ada di momen-momen terpenting hidupku.
Lana tersenyum.
Feliska adalah sahabatnya sejak TK. TK, SD, SMP, mereka berada di sekolah yang sama. Tak ada satu manusia pun di bumi yang bicara pada Lana sesering dan sebanyak Feliska. Jika menghitung setiap kata yang dilontarkan Feliska selama mereka mengobrol, sembilan digit angka pun tak cukup. Tak ada satu manusia pun di bumi yang memiliki baju dan pernak-pernik persis seperti milik Lana selain Feliska. Mereka punya tiga belas kaus oblong yang sama, lima kemeja yang sama, tiga dress yang sama, tujuh celana yang sama, tiga rok yang sama, lima topi yang sama, empat sepatu yang sama, tiga cardigan yang sama, satu sweater yang sama, satu jaket yang sama, tujuh pasang kaus kaki yang sama, tiga bando yang sama, dan enam jepit rambut yang sama. Mereka tumbuh sebagai saudari kandung di luat 'takdir Tuhan'. Mereka seperti dua objek yang memutari satu axis: persahabatan.
Tapi mereka terpisah secara geografis satu bulan lalu. Feliska yang pintar mendapat beasiswa. Tiga tahun SMA di Singapura.
"Woi, Na!" panggil Sherly yang tahu-tahu sudah muncul di depan halte.
Lana hampir melonjak terkejut, tapi kemudian hanya berjalan menghampiri kakaknya tanpa berkata apa-apa.
Sherly melihat jam tangannya. Sekarang sudah jam 15.42 dan Lana tidak mengomel sama sekali. Padahal tadi pagi, dengan garang Lana membuat perjanjian 'jangan lebih dari jam tiga seperempat'. Biasanya kalau pakta seperti itu sudah dibuat, Lana akan menuntut haknya dijemput jam tiga seperempat. Dia tidak pernah bosan melakukan tuntutan-tuntutan, sampai-sampai Sherly pikir adiknya itu akan menjadi jaksa penuntut suatu hari nanti.Tapi sekarang, Lana tiba-tiba menjadi gadis pendiam, penurut, tak banyak menuntut.
Sherly mengernyitkan dahi. Ada yang salah.
"Ayo jalan," kata Lana. Sherly terlalu lama menerka-nerka.
"Oh, oke."
Sampai di rumah, Lana melempar ranselnya ke sudut tempat tidurnya. Kasurnya yang diselimuti seprai ungu menempel dengan dua dinding, menimbulkan suara gesekan yang cukup keras ketika tasnya menghantam. Lana membuka laptopnya, duduk di kursi berpunggung tinggi-empuk, mengecek email dan semua jejaring sosial yang menyambungkannya dengan Feliska. Hari demi hari, sejak kepergian Feliska, kebiasaan Lana mengecek email menjadi semakin sering. Dalam sehari, Lana bisa mengeceknya hingga lima kali. Tapi semakin hari, Feliska juga semakin sibuk. Tak banyak yang bisa ditulis pada seorang sahabat di seberang pulau, karena ia sendiri harus memikirkan apa yang harus ia tulis untuk guru-gurunya di Singapore International High School (SIHS), untuk tetap bertahan sebagai penerima beasiswa John Hwang Foundation, dan untuk pencapaian-pencapaian akademik serta perencanaan masa depan lain. Feliska berencana melanjutkan studinya di Singapore National University nantinya, dan kalau ia ingin meyakinkan para profesor di sana, pertama-tama dia harus meyakinkan guru-gurunya di SIHS.
@mey_lana sorry, aku lg sibuk bikin paper...
Lana mengembuskan napas. Dia menyandarkan diri ke punggung kursi yang empuk. Kursi abu-abu yang dipesan khusus oleh Ayah untuk menyamankan Lana. Ada dua kursi seperti itu di rumahnya. Satu untuk Lana, satu untuk Kakek. Ayah memang yang nomor satu, selalu mengerti kebutuhan anak-anak dan mertuanya.
Feliska juga nomor satu, tapi dia hanya terlalu sibuk.
Mata Lana melayang ke langit-langit. Tentu saja Feliska sibuk. Kalau Lana dalam posisi Feliska, dia juga akan sangat sibuk. Tapi kesibukan Feliska itu membuatnya bosan. Bosan sekali. Seharusnya mereka mengobrol lewat video call sekarang, tapi Feliska sibuk. Tak banyak yang bisa dilakukan Lana tanpa Feliska. Dia tidak bisa melakukan aktivitas fisik sebanyak anak-anak lain, tidak memiliki banyak teman, dan tidak bermain alat musik sama sekali. Setiap waktu yang ia habiskan tanpa Feliska dan kesibukan adalah kehampaan.
Lana mengetuk-ngetukkan jemarinya di lengan kursi. Bosan.
Tok tok tok tok tok...
Lana mencondongkan tubuhnya, dengan cepat bangun dari sandarannya di punggung kursi. Dia memajukan kursi berodanya itu hingga dadanya hampir menempel pinggiran meja. Di kolom address browser, Lana mengetik www.worthwriting.com, kemudian mulai menulis, melanjutkan chapter keempat cerita berserinya, The Gooseberry. Belum lama jari-jarinya mendendangi keyboard, Lana merasa buntu. Bosan. Lana menyimpan sedikit hasil tulisannya, kemudian membuat sebuah cerita baru, The Dazzling Spectacle. Di kolom deskripsi cerita, Lana menuliskan: A story of powerful minded guy with four eyes, three hands, two hearts, and one love.
Lana tersenyum puas meskipun baru memasuki bab satu.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Down My Spine
Fiksyen RemajaLana adalah kutu buku cupu yang mengidap skoliosis. Dia merasa dikutuk. Tapi itu sebelum dia kenal dengan anak laki-laki dokternya. *cerita ini adalah tribute untuk teman saya dan semua orang dengan skoliosis*